Amos Yeninar, Penyelamat Generasi Emas Papua di Nabire

0
2194

Oleh: Philemon Keiya)*

Sulit dinarasikan rasa cinta dan pedulinya seorang Amos Yeninar yang saban hari dengan setia mau menjadi sahabat bagi anak-anak terlantar di kota Nabire. Kesetiaannya memang patut dikagumi. Sudah tiga tahun pria sederhana ini berkarya bagi para bocah yang hidup jauh dari kehangatan orang tua.

Sekalipun dengan segala kekurangan, seluruh hidupnya ia curahkan hanya untuk generasi emas Papua ini.

Hampir setiap hari, anak-anak asuhnya, juga oleh orang lain, kerap menyapanya: “Bapa Pendeta”. Padahal, pria kelahiran Supiori 7 April 1987 ini bukanlah seorang gembala jemaat. Juga tak pernah belajar di sekolah Theologia. Ia hanyalah seorang pemuda Papua seperti pada umumnya.

Amos setiap hari selalu dampingi anak-anak asuhnya di gedung PKK lama yang terletak di bilangan Oyehe, Nabire. Gedung itu disulapnya menjadi rumah singgah bagi ratusan bocah penerus masa depan Papua.

ads

Ia memulainya sejak 2017 lalu. Sejak itu ia menjadi sahabat bagi anak-anak kecil. Jumlahnya saat itu tak sebanyak sekarang. Meski kadang berkurang jumlahnya lantaran mereka keluar masuk semaunya.

Tahun lalu ia mencoba membentuk sebuah wadah untuk lebih serius melayani anak-anak di Nabire. Yayasan Siloam Papua (YSP), nama organisasi yang ia dirikan. Amos sendiri sebagai direkturnya.

Gudang Masalah

Soal penyakit sosial, di Tanah Papua, termasuk Nabie tentunya, memang gudangnya. Hampir tiap hari kita selalu disuguhnya dengan berbagai kejadian dengan sasaran anak-anak di bawah umur. Di media massa —cetak, online, dan televisi— juga sosial media, tak pernah ada habisnya kita ikuti berita-berita tentang ragam kisah tragis yang dialami anak-anak.

Sudah tak terhitung jumlah peristiwanya. Kebanyakan orang berpikir itu hal biasa.

Nabire, salah satu kabupaten yang memang sering terjadi berbagai macam kejadian. Di kota ini, penyakit sosial tumbuh subur. Mulai lem aibon, ganja, narkoba, hingga minuman keras (Miras). Ini jalan tol bagi generasi muda Papua menuju kepunahan.

Sudah tak sedikit anak kecil di Nabire terlibat dengan lem aibon, ganja, narkoba dan Miras. Umur mereka masih sangat belia. Usianya mulai tujuh hingga 20-an tahun. Itu fakta. Hal itu bisa disebutkan di sini karena kebanyakan anak-anak yang dibina Amos Yeninar hampir semua umurnya sekitar itu.

Amos Yeninar bersama ana-anak terlantar di rumah singgah, Oyehe, Nabire. (Yance Agapa – SP)

Jika kita berkesempatan duduk cerita dengan mereka, anak-anak itu —walau tak semua— akan bicara siapa diri mereka. Sejatinya tak ada menyuruh mereka harus hidup bergelandangan.

Mereka ada dalam ‘dunia itu’ dengan berbagai latar belakang keluarga yang sangat berbeda. Mereka ada yang berasal dari keluarga yang berada. Bahkan, ada anak-anak yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Dunia mereka sangat variasi.

Dalam keadaan seperti itu, hampir tak ada orang atau organisasi yang bergerak untuk mengatasi secara kontinu. Semestinya pemerintah, gereja, masjid, sekolah dan kepolisian secara bersama berani mengambil langkah-langkah konkrit demi meminimalisir hingga berusaha meniadakan hal-hal tersebut.

Tetapi, realitanya? Sungguh sangat parah!.

Bila terjadi hal-hal yang merugikan banyak orang melalui sejumlah penyakit sosial tadi, semua pihak selalu salahkan pelaku.

Baca Juga: Demi Generasi, Saya Tetap Maju Bina Anak-Anak Aibon

Salah satu contoh, sering jumpa anak-anak dalam keadaan mabuk sering palang jalan. Atau, sering ada di tempat-tempat ramai. Mereka selalu disalahkan. Tetapi tak pernah ada orang atau organisasi yang muncul untuk mengurusnya, apalagi mau melayani dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar.

Titik Awal Panggilan Pelayanan

Segala sesuatu selalu dimulai dari sebuah awal dengan berbagai cerita yang berbeda. Amos Yeninar memulai pelayanan ini dengan sebuah peristiwa yang di luar akal pikiran manusia.

“Pada saat saya kerja di salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM), gaji lumayan besar. Itu bikin saya harus lupa Tuhan. Saya gunakan gaji itu untuk berfoya-foya,” ceritanya.

Karena cara hidup yang semakin glamor dan sudah tak terkontrol lagi, tiba-tiba ia dapat sakit. “Saya divonis terkena HIV/AIDS,” katanya dengan mencucurkan air mata.

“Saat itu, saya benar-benar stress. Saya sama sekali kehilangan akal untuk harus hidup seperti apa. Saya benar-benar down,” ucapnya mengisahkan.

Dalam situasi demikian, Tuhan hadir dalam hidupnya. Ia mengubah duka menjadi suka. Pada saat ada pada titik yang benar-benar dibawah, Tuhan mengangkat dengan cara-Nya.

“Pada saat itu, Tuhan berikan visi untuk saya harus pergi ke Nabire. Biarpun sama sekali tidak tahu tentang Nabire, saya memutuskan untuk ke kota emas ini,” katanya.

Awal Mula Pelayanan

Setibanya di Nabire, ia bingung harus tinggal dimana. Tetapi, syukur karena bisa menumpang di keluarga.

“Memang saya datang ke Nabire hanya dengan petunjuk dari Tuhan kepada saya. Awalnya tidak ada sama sekali berpikir saya akan tinggal di mana atau makan apa? Saya tidak pikirkan itu,” lanjut Amos.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Bermodal sebuah sepede motor, ia keliling kota. Selain menawarkan jasa ojek, juga sekaligus memperhatikan gerak gerik anak-anak di sejumlah wilayah, seperti Pasar Oyehe, Pasar Karang Tumaritis, dan Pasar Kalibobo.

“Hasil yang saya dapat dari ojek itu, malam hari saya beli makan, lalu biasa makan bersama dengan mereka (anak-anak). Lama kelamaan, mereka semakin akrab dengan saya. Dan, biasa berdoa bersama mereka di jalan-jalan atau di mana saja saya ketemu mereka,” tuturnya.

Cita-cita Tak Sesuai Impian

“Dulu saat sekolah hingga sudah di bangku kuliah, cita-cita saya itu hanya satu, Bupati,” ujarnya.

Ya, semua orang punya impian yang harus diwujudkan. Kadang impian itu juga menjadi motivasi tiap orang untuk harus bekerja keras demi mengejar agar impiannya bisa terwujud.

Tetapi tidak bagi Amos Yeninar. Sepanjang sekolah, cita-cita hanya menjadi seorang kepala daerah atau Bupati.

Ia berangan-angan, setelah menjadi bupati, bisa menjadi pelayan bagi semua orang.

Untuk mencapai cita-cita itu sempat digadang untuk calon legislatif (Caleg) pada Pileg 2019. Tetapi itu tak terjadi karena Amos sudah menetap di Nabire bersama anak-anak jalanan. Padahal, jika ia menetap di Supiori dan maju sebagai Caleg, sudah pasti terpilih. Karena, pengganti ia kini telah terpilih dan menjadi anggota DPRD periode 2019-2024.

“Keluarga saya di Supiori itu sudah sepakat untuk mengusung saya dalam bursa pencalonan DPRD kemarin. Dan, jalan untuk wujudkan cita-cita kecil saya menjadi bupati itu terbuka lebar. Tetapi, Tuhan berkata lain. Saya tinggalkan itu semua dan saya jadi pelayan bagi anak-anak,” kata Amos.

Suka dan Duka Mengemban Pelayanan

“Saya bersama istri saya memulai pelayanan ini sejak tahun 2017 lalu. Setiap hari bersama anak-anak terlantar. Selama ini kami lewati banyak sekali pengalaman, baik dari pengalaman yang baik hingga buruk,” kisahnya.

Baca Juga: YSP Nabire Fokus Pembinaan Rohani

Amos menceritakan salah satu pengalaman yang sulit rasanya untuk harus dinarasikan adalah ketika istri tercintanya rela gadai cincin pernikahannya demi menopang pelayanan bagi anak-anak asuhnya.

“Istri saya orang luar biasa yang dikirim Tuhan kepada saya. Karena, demi mendukung pelayanan ini saja dia rela gadai cincin pernikahan. Padahal, cincin ini harta tak ternilai bagi kami,” ucapnya sembari menyeka air mata.

Bahkan istrinya merelakan menjual cincin nikah untuk memenuhi kebutuhan bersama anak-anak generasi emas Papua di Nabire.

Orang Tua Pernah Menyangkal

Setiap anak keluarga merupakan harapan masa depan bagi tiap orang tua. Demikian juga dengan kedua orang tua dan keluarga besar dari Amos Yeninar. Mereka sudah membiayainya hingga ia raih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura pada tahun 2012 lalu.

Orang tuanya berharap Amos bisa menjadi orang ternama dalam keluarganya. Bisa bangun kampung halamannya setelah menjadi seorang ‘bos’.

Keluarga besar Amos terus berharap agar ia menjadi seorang pejabat. Harapan itu terus ada setelah melihat teman-teman dari Amos menjadi pegawai di Supiori dan Biak Numfor.

Tetapi, harapan dari orang tua ternyata bertolak belakang dengan keputusan yang ia ambil. Sejak tahun 2017, Amos nyatakan sikap untuk ‘mati hidup’ bersama generasi emas yang dilupakan banyak orang.

Keluarga besar Amos sangat marah dengan keputusannya itu. Orang tuanya bahkan pernah menyangkal ia sebagai anaknya.

“Orang tua pernah menyangkal saya dengan keputusan saya. Keputusan yang Tuhan taruh dalam hati saya ini,” katanya sambil cucurkan air mata lagi.

Perjuangkan Yayasan

Amos memang tak punya apa-apa. Serba kekurangan. Tetapi, ia tetap melayani anak-anak muda yang masih punya impian masa depan ini. Amos melakukan pelayanan secara suka rela.

Ia benar-benar menjadi sahabat bagi generasi emas ini dengan sepenuh hati.

Sejak memulai pelayanan ini hingga kini Februari 2020, ia rela kehilangan segalanya, termasuk tawaran menjadi pejabat di kampung halamannya, kabupaten Supiori.

Ia pegang teguh komitmen awal. Ia yakini dengan visi yang telah diberikan Tuhan kepadanya demi menyelamatkan generasi muda yang sudah terlanjur masuk dalam hal-hal yang tak terpuji.

Menyelamatkan mereka dari hal-hal itu merupakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan Sang Pencipta kepadanya. Sehingga, tanggung jawab dan tugas tanpa sebuah surat keputusan itu ia jalankan sebagai sebuah tugas utamanya sejak 2017 lalu.

“Dalam pelayanan ini, beberapa anak Tuhan yang bantu secara suka rela tanpa pikir,” katanya.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor
Anak-anak di rumah singgah usai ibadah malam. (Amos Yeninar for SP)

Pertengahan 2018, ia —meskipun tak ada uang— berniat mengurus sebuah badan hukum demi mengantisipasi jika suatu saat dibutuhkan. Syukurlah, dengan cara yang tak bisa dipikirkan oleh pikiran manusia, Tuhan hadir dengan caranya. Ya, ada orang yang berikan bantuan berupa uang. Dan, uang itu ia manfaatkan untuk mengurus administrasi hadirkan YSP.

Setelah ada yayasan ini, ia sangat membutuhkan sejumlah orang yang sejiwa dengannya. Mereka yang benar-benar punya hati dan ingin habiskan hidupnya bersama anak-anak di jalanan tanpa mengharapkan imbalan yang lebih.

“Puji Tuhan, kami sudah bisa ada salah satu anak Tuhan yang ia mau bekerja di sini. Isak Nap, namanya,” jelas Amos.

Kehadiran Isak Nap memberi sebuah ruang yang agak bebas untuk Amos bisa bergerak bebas untuk pelayanan. Isak Nap melayani anak-anak bersama hingga detik ini.

Amos menjalankan tugasnya sebagai pelayan bagi anak-anak generasi emas ini ia pusatkan di gedung PKK lama, Oyehe yang ia sebut sebagai ‘rumah singgah’. Ia sebut rumah singgah karena anak-anak asuhnya hanya bisa datang dan singgah pada jam tertentu saja.

Contohnya, anak-anak akan datang ke rumah singgah pada jam enam sore. Kadang mereka datang jam dua dini hari. Mereka datang tak menentu jamnya.

Bangun Panti Rehabilitasi Bermodal Satu Juta

Suatu hari Amos berpikir, jika jalankan pelayanan hanya dengan cara seperti saat ini (pelayanan rumah singgah), anak-anak sudah terlanjur kecanduan dengan lem Aibon dan sejenisnya ini tetap tak akan pernah sembuh dan akan tercipta hidup yang bergantungan pada hal-hal itu.

Solusinya ia berani memutuskan untuk harus bangun sebuah panti rehabilitasi bagi anak-anak asuhnya. Bangun sebuah bangunan untuk panti rehabilitasi bukan sebuah perkara mudah. Karena harus butuhkan uang dalam jumlah yang besar.

Amos tak pikirkan hal itu. Ia meyakini dan mengimani saja pada Tuhan bahwa sebuah bangunan untuk panti rehabilitasi akan terbangun.

“Tujuan dari bangunan ini, agar anak-anak yang bisa sadar dari hal-hal yang tidak baik akan dibina di panti rehabilitasi agar mereka kembali ke orang tuanya dan bisa kembali menatap masa depan yang jauh lebih indah yang telah disiapkan Allah melalui sekolah,” ceritanya.

Demi mewujudkan tujuan mulia ini, harus memulai sebuah pekerjaan besar walau Amos menyadari benar tentang tantangan yang ia akan hadapi.

“Lebih baik maju dengan masalah dari pada mundur karena masalah,” tegasnya.

Impian untuk miliki sebuah panti rehabilitasi itu ia mulai. Pertama, ia bercerita dengan keluarganya yang ada di bilangan Kalibobo. Bersyukur, keluarganya mau melepaskan sebidang tanah kosong.

“Saya mulai bangun panti rehabilitasi itu modalnya hanya satu juta rupiah saja,” kata Amos.

Dengan bantuan dari sejumlah pihak, rumah yang nantinya akan dijadikan sebagai panti rehabilitasi itu sebagian besar sudah dibangun.

“Mereka menopang bangunan ini dengan cara menyumbang berupa uang maupun bahan bangunan. Itulah Tuhan. Jika saya tidak mulai dengan uang sebesar satu juta rupiah, bangunan itu tidak akan jadi,” tuturnya.

Panti rehabilitasi yang sedang dibangun Amos Yeninar di Kalibobo, Nabire. (Yance Agapa – SP)

Panti rehabilitasi yang telah dibangun akan diresmikan dalam beberapa waktu mendatang. Di panti ini akan diisi berbagai kegiatan postitif bagi anak-anak yang akan ditampung di sana.

Panti rehabilitasi dengan kapasitasnya hanya 12 anak asuhnya. Sehingga, kedepan akan diusahakan untuk pelayanan agar anak-anak yang dibina di sana orang-orang yang berguna bagi Tanah Papua.

Tiada Perhatian

Selama tiga tahun pelayanannya, Amos mengaku tak pernah ada perhatian serius dari pemerintah daerah. Hingga detik ini tak ada perhatian dan bantuan apapun yang diberikan ke YSP.

Amos mengaku pernah datangi ke sejumlah pejabat teras pemerintah kabupaten Nabire. Tetapi tak pernah respons maksud baik yang telah ia sampaikan ke pemerintah.

Bahkan dinas terkait sekalipun, pernah ia datangi, tetapi tetap nihil. Tak ada perhatian. Makanya ia menilai tak ada niat baik dari pemerintah daerah untuk menyelamatkan para generasi muda yang hari ini ada di Nabire.

Padahal, mereka ini juga punya hak sama dengan ribuan anak yang sedang mengenyam pendidikan di bangku studi.

Baca Juga: Pemkab Nabire Tak Peduli Anak Aibon

Bukti ketidakpedulian lain dari pemerintah daerah adalah YSP dan Komunitas Enaimo Nabire (KENA) pernah lakukan aksi damai bersama untuk melawan penjualan lem Aibon dan sejenisnya secara berlebihan dan sangat terbuka kepada anak-anak dibawah umur. Aksi kampanye ini dilakukan 23 Juli 2019 lalu.

Pemerintah daerah menerbitkan sebuah larangan penjualan berlebihan kepada anak-anak buat semua pemilik toko dan kios yang ada di Nabire. Kebijakan Bupati Nabire, hingga detik ini tak pernah diterapkan. Para pecandu lem Aibon di Nabire justru kian marak dari sebelumnya.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Bukti ketidakpedulian terhadap anak-anak jalanan adalah tak pernah hargai undangan yang sempat diberikan kepada pemerintah daerah. Beberapa kali pernah masukan surat juga tak pernah ditindaklanjuti.

“Saya berharap kepada siapa saja, pemerintah daerah, DPRD, gereja, sekolah dan siapapun yang peduli dengan generasi muda yang saat ini ada di jalan-jalan, mari kita secara bersama lihat dan tangani,” pintanya.

Mitra Jalanan

Dalam pelayanannya, Amos akui ia tak sendirian. Ada banyak yang telah menjadi rekan atau mitranya. Mitra itu datang atas nama pribadi, komunitas, gereja, dan lain-lain.

“Tuhan selalu kirim orang-orang dengan caranya untuk menopang pelayanan ini. Saya menyebut mereka sebagai mitra jalanan,” jelasnya.

Alasan sebut mereka sebagai mitra jalanan karena pelayanan yang dijalankan Amos kebanyakan di jalanan. Melalui mereka, para mitranya Amos bisa mengenal hal lain.

Ada sejumlah komunitas yang selama ini bersama berjuang dan jalankan pelayanan ini. Ia menyebutkan KENA, Amoye Community, dan sejumlah komunitas lain baik dari gereja maupun komunitas lainnya.

Natal dan Celengan

Natal merupakan momen yang selalu dinantikan seluruh umat Nasrani di muka bumi ini. Natal selalu ada kisah dan momen-momen terbaik bagi yang merayakan.

YSP bersama anak-anak asuhnya pernah gelar perayaan Natal untuk generasi emas Papua yang ada di Nabire pada Desember 2019 lalu.

Baca Juga: YSP Gelar Natal Anjal, Amos: Mereka Bakat Papua

Untuk rayakan acara itu, Amos harus memutar otak agar ada uang demi terselenggaranya ibadah Natal bersama.

“Saat itu kami sudah tidak ada sama sekali. Puji Tuhan, celengan milik anak saya ada uang. Dan, kami rayakan acara Natal kami dengan modal uang dari celengan anak,” ceritanya lagi sembari menahan linangan air mata.

Rencana Besar

Amos punya satu rencana besar kedepan, yakni bangun panti rehabilitasi yang besar. Panti itu nantinya bisa menjadi tempat rehabilitasi di wilayah Papua Tengah.

Untuk itu, dalam pertengahan tahun 2020, YSP dan sejumlah mitra yang selama ini jalan bersama, akan duduk bicarakan rencana besar demi menyelamatkan anak-anak yang selama ini ada di jalan-jalan.

“Ini sebuah impian besar saya yang mau tidak mau harus dilakukan. Saya mau entah apapun resikonya, sebuah panti rehabilitasi dalam skala yang besar harus dibangun bersama,” tegasnya.

Tentu butuh dukungan banyak pihak. Ia butuh bantuan dan kerja sama dari semua stakeholder yang ada di Nabire maupun di wilayah Meepago harus bahu membahu bangun panti rehabilitasi.

Menurut Amos, jika panti sudah dibangun, bukan cuma anak-anak yang terlanjur candu bagi lem Aibon dan sejenisnya saja, tetapi akan menjadi tempat rehabilitasi bagi pecandu Miras, Narkotika maupun pecandu obat-obatan terlarang lainnya.

Pelayanan Mulia

“Bagi saya, pelayanan ini merupakan sebuah kehormatan dari Tuhan buat saya. Sehingga, apapun situasi dan kondisi, mati hidup dalam pelayanan bersama anak-anak ini adalah harga yang harus saya bayar,” tutur Amos.

Ia meyakini, pelayanan tulus kepada sesama ini sama artinya melayani Tuhan.

“Hanya dalam pelayanan ini saya menemukan Yesus. Dan, dalam pelayanan ini saya lihat Tuhan secara nyata,” ucapnya.

Kesetiaan Istri

Amos dalam menjalankan pelayanan ini selalu didampingi seorang perempuan. Istrinya, Elvera Rosalina Manemi dan seorang anaknya, Hengki Yeninar. Keberadaan seorang istri, bagi Amos sangat membantu dalam menjalankan pelayanan sehari-hari.

“Saya sangat bersyukur kepada Tuhan, karena Ia mengirim seorang istri yang sangat mengerti dengan semua perjalanan saya ini. Istri saya sangat mendukung dengan semua pelayanan yang saya jalankan. Dia kerja semua yang tidak bisa saya kerja. Dia pendamping yang hebat,” Amos akui kehebatan istrinya.

Istrinya di mata Amos seorang teman dalam melayani sesama lain yang membutuhkan kasih sayang di rumah singgah.

“Istri saya tidak pernah mengeluh sama sekali. Pada saat anak-anak datang dalam keadaan mabuk lem aibon dan sering merusak barang-barang di rumah singgah, sering curi barang kami, tapi istri saya selalu kuatkan saya bahwa ‘Bapa, tetap sabar. Semua itu ujian dari Allah’, dan kata-kata lain,” tuturnya.

Keberadaan istri sangat membantu dalam berbagai keadaan. Suka dan duka selalu dilewati bersama.

Totalitas Amos Yeninar sudah dibuktikan. Juga, tentu masih akan diteruskan. Semua dicurahkan demi menyelamatkan sesama ciptaan Tuhan. Ia benar-benar menjadi malaikat penyelamat bagi generasi emas Papua di Nabire.

)* Penulis adalah seorang yang peduli isu-isu lingkungan dan sosial; tinggal di Nabire, Papua.

Artikel sebelumnyaKembali Lantik Eselon, Bupati Paniai: Penempatan Jabatan Murni
Artikel berikutnyaTujuh Tapol Papua Siapkan Eksepsi Terhadap Seluruh Dakwaan