Kontribusi JDP dalam Penyelesaian Konflik Papua-Jakarta (Bagian 1/4)

JDP Masih Relevan?

0
1610

Oleh: Mecky Mulait, Pr)*

Latar Masalah

Pada 14 Agustus 2017 lalu, ketika almarhum pastor Neles Tebay ditunjuk mengurusi dialog sektoral, beragam tanggapan muncul terutama dari kalangan orang Papua. Banyak orang merasa dialog yang ditawarkan oleh presiden Jokowi sudah ketinggalan zaman. Masyarakat Papua merasa persoalan Papua sudah go Internasional. Maka bagi mereka, jika Jakarta  mau dialog levelnya Internasional yakni Indonesia  versus ULMWP sebagai perwakilan orang Papua.

Itulah sebabnya bukan hanya para aktivis, namun sebagian besar rakyat Papua terutama pro Papua merdeka menolak ide dialog sektoral tersebut. Tanggapan penolakan tidak sebatas lisan atau di media sosial, namun muncul juga dengan sejumlah analisa ilmiah berupa artikel.

Satu tulisan kritis atas peran JDP dalam tawaran dialog sektoral  itu muncul dari kandidat doktor antropologi Papua, Ibrahim Peyon “Dialog Sektoral Upaya Menghancurkan ULMWP dan Diplomasi Internasional” (SuaraPapua.com – Dialog Jakarta-Papua Agenda Menghancurkan ULMWP Dan Dukungan Internasional).  Ibrahim mengkritik bahwa peran JDP sudah bergeser dari peran awal sebagai mediator. Hal itu terlihat dari sejumlah pernyataan dari koordinator JDP yang menurut Ibrahim sudah mengarah seturut kehendak pemerintah Indonesia.

ads

JDP menurut Peyon tidak berdiri lagi sebagai mediator. JDP cenderung mendukung dan memberi legitimasi bagi kepentingan Jakarta. Itulah sebabnya Peyon mengkritik JDP sebagai agen pemerintah untuk menghancurkan perjuangan orang Papua yang sekarang sudah mendapat dukungan luas secara Internasional.

Menanggapi sejumlah tanggapan miring tersebut, melalui artikel-opininya dialog sektoral: apakah itu? pater Neles kembali menegaskan posisi JDP. Menurutnya, JDP masih tetap sebagai mediator. JDP tidak pernah mengklaim sebagai aktor karena JDP tidak mewakili organisasi tertentu. JDP hanyalah mediator yang digerakkan oleh pribadi-pribadi yang prihatin dengan persoalan Papua yang kini sulit diselesaikan karena dua pandangan yang berbeda. JDP ingin masalah konflik Papua diselesaikan secara damai. Oleh karena JDP tidak direkomendasikan oleh seseorang ataupun kelompok orang, maka menurut koordinator, JDP tidak dapat diberhentikan oleh siapa pun juga.

Akan tetapi klaim koordinator JDP masih diragukan oleh masyarakat Papua terutama mereka yang bicara vocal. Satu kerancuan pandangan muncul karena ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Elisabet yang selama ini menjadi rekan kerja JDP dalam urusan dialog Papua Jakarta mengklaim JDP sebagai aktor. Pernyataan ketua LIPI ini dipublikasikan oleh media online Satuharapan. com “LIPI: Gerakan Pro Papua Merdeka Semakin solid” dan “LIPI Desak Jokowi Segera Umumkan Dialog Nasional dengan Papua.

Pernyataan ini cukup menimbulkan polemik baik untuk orang Papua maupun juga eksistensi JDP sendiri. Kerena sebelumnya JDP mengklaim bahwa perannya masih sebagai mediator sementara LIPI memunculkan JDP sebagai aktor. Orang Papua akan bertanya: Bagaimana mungkin dua lembaga yang selama ini bekerja bersama pada satu tujuan (perdamaian Papua), namun memiliki pandangan posisi yang berbeda? Pertanyaan lain adalah apakah JDP dengan agenda dialognya masih relevan dalam menyelesaikan konflik Papua-Jakarta semenjak ditinggal pergi oleh dua koordinator (Dr. Muridan S. Widjojo dan Dr. Neles Tebay)?

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Tulisan ini tidak bermaksud membela atau bahkan menilai JDP secara negatif. Maksud utama tulisan ini menampilkan apa yang dihasilkan JDP selama keterlibatannya dalam upaya penyelesaian konflik Papua-Jakarta pada satu sisi dan situasi dilematis yang tercipta disi yang lain. Dengan demikian para pembaca dapat menilai dan mengkritisi di mana letak soalnya terkait perkara JDP aktor atau masih menjadi mediator. Dengan pandangan awal yang jelas soal sepak terjangnya dan kontribusinya menghantar pembaca menilai apakah JDP masih relevan dalam penyelesaian konflik Papua.

Sumbangan JDP bagi Penyelesaian Konflik Papua

Jaringan Damai Papua (JDP) dibentuk pada tahun 2010. Almarhum pastor  Dr.  Neles Tebay dan Dr. Muridan mengambil peran sebagai koordinator. Tujuan pembentukan jaringan ini untuk mempertemukan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Itulah sebabnya dalam beragam kesempatakan ketika ditanya posisi dan legitimasi dari JDP, koordinator pastor Neles selalu tegaskan JDP bukanlah aktor, namun mediator (SuaraPapua. Com).

Meskipun banyak tanggapan miring yang dialamatkan oleh kedua belah pihak yang bertikai, namun satu hal yang jelas bahwa JDP memberikan sejumlah sumbangan positif bagi penyelesaian persoalan Papua. Belum ada titik temu antara pemerintah Indonesia dan orang Papua tidak berarti JDP gagal. Persoalan Papua belum selesai bahkan itensitasnya semakin meningkat. Maka, peran JDP sebagai mediator tetaplah diperlukan oleh kedua belah pihak yang bertikai.

Hal ini penting karena sejak awal (Kongres Papua II) orang Papua memilih menyelesaikan masalah Papua secara damai dan bermartabat (Muridan, 2009: 25). Di tengah kondisi berseberangan antara satu fihak dengan fihak yang lain, perlu ada peran tengah untuk membangun jembatan (menghubungkan).

JDP telah mengisi ruang kosong yang sebenarnya sangat urgen tetapi tidak semua orang kalau tidak mau belum tentu bisa. Karena ruang tengah itu selalu ada diantara gesekan dua fihak yang bertikai. Posisinya memang tidak enak dan penuh resiko. Tetapi justru jalan tengah itulah yang dipilih oleh dua almarhum yakni pastor Dr. Neles Tebay dan Dr. Muridan Sidjojo (LIPI).

Viktor Yeimo mantan ketua KNPB, kini jubir internasional memberi kesaksian tentang peran yang dimainkan oleh Dr. Neles Tebay setelah beliau menghembuskan nafas terakhir pada 14 April 2019. Dalam tulisan refleksinya “Rakyat Papua Barat”, Viktor mengakui bahwa Neles Tebay itu PBBnya Indonesia dan Papua yang merintis jalan damai konflik West Papua-Indonesia. Dari perjalanan panjang sejak 2010 sampai sekarang menurut penulis, JDP memberikan sumbangan positif sejumlah hal yang mendasar.

Pertama, JDP berhasil mempopulerkan kata “dialog” dikalangan luas. Sebelum dan setelah Kongres Papua II, kata dialog sering dianggap tabu. Kata dialog sering diasosiasikan dengan makar atau gerakan separatisme Papua oleh pemerintah Indonesia. Namun dengan keberanian dan dukungan luas oleh para pimpinan gereja dan agama di Papua, JDP secara konsisten bicara dialog sehingga ide bahkan kata dialog sudah menjadi lasim sebagai suatu mekanisme menyelesaikan persoalan Papua secara damai dan bermartabat meskipun dialog yang diharapkan oleh kedua belah itu sampai sekarang belum terwujud.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Sumbangan ini bukan hanya soal kata, tetapi juga roh/spirit dari dialog itu sendiri yakni menjaga atau menjadikan Papua tanah damai. Dari pihak orang Papua yang mendorong penyelesaian persoalan Papua secara politik mesti perlu sadari sejarah kelam Papua. Di mana masa kelam itu memberi gambaran representatif watak militer Indonesia yang terpatri dalam kurang lebih 12 kali operasi militer (DOM) sebelum resim orde baru jatuh 1998 (Ohearing, 2009:9).

Bahwa meskipun kebebasan ekspresi di Papua muncul seiring dengan jatuhnya resim orde baru, namun peran JDP bersama dengan  dengan Gereja di Papua sangat besar mengontrol (meminimalisir) pendekatan militerisme di Papua yang sampai saat ini terus diterapkan oleh pemerintah pusat.

Kedua, JDP berhasil memperkenalkan persoalan Papua lebih luas secara nasional maupun Internasional. Apakah kemudian agenda JDP dalam menyelesaikan masalah Papua melalui dialog  akan berhasil atau tidak itu urusan berikut.

Yang utama bagi penulis adalah bahwa JDP mampu menerobos sekat-sekat ataupun tembok pemisah antara dua pihak yang bertikai bahkan membangun simpatisan bagi banyak orang untuk menyatakan bahwa di Papua ada masalah. Perlu dicatat bahwa banyak orang entah orang Papua maupun non Papua meskipun hidup di tanah Papua, namun masih banyak bersikap antipati terhadap persoalan Papua. Bahkan banyak pihak yang menjadi sumber konflik di Papua seperti para investor terus mengeruk sumber daya alam Papua tanpa pernah memperhitungkan jaminan keselamatan hidup orang Papua.

Maka, dengan visi mempertemukan beragam aktor konflik yang oleh JDP mengklarifikasi 9 aktor termasuk para investor merupakan suatu sumbangan yang berarti. Sejarah membuktikan bahwa menyeselesaikan sebuah persoalan apalagi pokok persoalannya adalah soal integrasi bukanlah sesuatu yang muda. Maka menempuh dengan segala cara dan tahap-pertahap merupakan sebuah langkah menuju penyelesaian persoalan secara definitif. Pada tingkatan nasional, JDP telah berhasil membawa masalah Papua menjadi perbincangan masyarakat nusantara meskipun konsultasi publik yang dibangun terbatas diruang tertutup sebagaimana yang ditudukan. Tetapi hasilnya sungguh luar biasa. Banyak orang Indonesia dalam berbagai kalangan terutama kaum terdidik di wilayah Jawa mulai mengetahui dan membahas persoalan Papua.

Hal ini penting karena arus media nasional dalam mewartakan persoalan Papua seringkali sangat tidak berimbang bahkan cenderung versi pemerintah. Kebenaran sejarah dan masalah Papua menjadi kabur. Sehingga banyak masyarakat Indonesia yang membangun jargon NKRI harga mati ketika berhadapan dengan sejumlah aksi mahasiswa dibawah gerakan AMP di Jawa.

Karena itu JDP dengan diskusi terbatas terus membangun pemahaman yang benar tentang persoalan Papua dalam skala yang terbatas. Hasilnya, banyak kampus ternama di Jawa seperti Unpar sering diadakan diskusi ditingkat mahasiswa tentang persoalan Papua. Upaya keras JDP juga telah berhasil membentuk ikatan cendikiawan Indonesia menyangkut dialog Papua yang diketuai oleh rektor Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Dr. Sitomorang.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Puncak daripada perjuangan memperkenalkan masalah Papua secara ojektif dan bermartabat itu terlihat dari tuangan ide dan gagasan para cendikiawan dari berbagai kalangan dalam buku “100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua” (ed. Elga Serapung).  Membangun pemahaman dan dukungan dari masyarakat Indonesia yang lahir dari kesadaran dan kejujuran itu dirasa sangat penting dalam mendesak pemerintah pusat terkait persoalan Papua. Pemerintah akan berpikir cepat dalam menyelesaikan masalah dalam negerinya kalau ada desakan kuat dari rakyatnya sendiri.

Selain itu, meskipun apa yang disuarakan merupakan persfektif pribadi, namun sejumlah tulisan artikel-opini yang dihasilkan oleh almarhum pater Neles Tebay memberikan sumbangsi data dan analasis soal yang berarti bagi perjuangan Papua ke depannya. Dalam berbagai media baik nasional seperti: Kompas, media online satuharapan, com, media Internasional Jawa Pos dan media lokal Cepos, online Jubi, suara Papua, com, pater Neles secara konsisten menulis fakta-fakta pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam berbagai lini kehidupan sambil menganjurkan solusinya. Bertolak dengan persoalan itu, pastor Neles selalu menganjurkan solusi dialog. Maka, meski itu merupakan suatu tulisan pribadi, namun sejauh solusi yang dianjurkan adalah dialog, maka juga merupakan sumbangsi JDP yang mendorong dialog Papua-Jakarta.

Tulisan-tulisannya bertebar luas (nasional-internasional) bahkan dikumpulkan menjadi dua buku. Buku pertama “Angkat Pena Demi Dialog Papua, Kumpulan Artikel Opini tentang Dialog Jakarta-Papua Tahun 2001-2011”. Buku kedua “Bersama –Sama Mencari Solusi untuk Papua Damai, Bunga Rampai Dialog dan Perdamaian Papua Tahun 2013-2017”.

Tulisan-tulisan ini sebagai sebuah data penting juga bagi perjuangan Papua karena orang Papua membutuhkan dukungan suara secara luas (Internasional). Dunia modern adalah dunia data. Dan amunisi perang dunia modern adalah data pelanggaran HAM. Perjuangan Orang Papua bisa mendapatkan dukungan sejauh fakta pelanggaran HAM diungkapakan secara ojektif. Untuk menyampaikan data yang objektif tentu kita membutuhkan data dari berbagai persfektif. Sampai sejauh ini data-data yang dihasilkan oleh lembaga Gereja dipercayai objektivitasnya.

Pastor Neles sendiri menjadi narasumber yang ojektif bagi wartawan asing untuk melihat dan meliput masalah Papua secara ojektif ketika madia-media internasional dibungkam oleh Jakarta. Data dari pihak JDP tentu sangat membantu karena dari posisi sebagai mediator objektivitas data cukup dipercayai.

Itulah sumbangan positif bagi perjungan Papua supaya dapat meyakinkan orang lain untuk memberi dukungan terhadap apa yang diperjuangkan. Isi dari artikelnya banyak yang bernada menghentikan implasi internasionalisasi masalah Papua supaya pemerintah segerah sadar untuk membuka ruang berdialog. Pandangan itu lahir dari keprihatinan akan maraknya pelanggaran HAM di tanah Papua di mana korbannya adalah warga sipil yang tidak berdaya.

Bersambung… (Bagian kedua dari tulisan ini adalah Menciptakan Moment: Membuka Jalan Perdamaian)

)* Penulis adalah Imam Diosesan Keuskupan Jayapura.  

Artikel sebelumnyaTiga Orang OTG Covid-19 di Pegunungan Bintang
Artikel berikutnyaMahasiswa Minta Seluruh Elemen di Lapago Perangi Covid-19