SKPKC Fransiskan Launching Buku Seri Memoria Pasionis Berjudul ‘Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum’

0
1255

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sekretariat Keadilan, Perdamaian, Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua telah melaunching buku Seri Memoria Pasionis Berjudul ‘Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum’ pada Kamis 2 Juli 2020 di Kompleks Misi Katolik, Biara St. Antonius Padua Sentani, kantor SKPKC Sentani, Kab. Jayapura, Papua.

Buku tersebut ditulis oleh sesepuh dan inisiator SKPKC FP Bapak Theo van den Broek. Setelah melaunching buku tersebut, dilakukan diskusi dengan menghadirkan Victor Mambor [Junalis Senior Papua dan Pimpinan Umum Jubi], Gustaf Kawer [Pengacara dan Praktisi Hukum] dan Beatus Tambaip [Akademisi Uncen].

Launching dan Diskusi Buku ‘Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum” dilaksanakan secara live streaming di Kantor SKPKC Fransiskan Papua, 10.30-13.30 WIT. Moderator yang memandu diskusi ini adalah Ruth Ohoiwutun, Staf Yayasan Anak Dusun Papua (YADUPA).

Yuliana Langowuyo, Direktris SKPKC Fransiskan Papua ketika membuka lauching buku tersebut mengatakan,buku yang dibuat SKPKC setiap tahun bertujuan untuk tidak lupa akan apa yang kitong [orang Papua] alamai di tanah ini (papua).

“Tidak lupa bukan berarti kita mau tinggal terus dalam penderitaan. Tetapi sebenarnya tidak lupa itu supaya ada perubahan secara menyeluruh untuk bersama-sama bangkit dari situasi penderitaan,” kata Yuliana.

ads

Theo van den Broek, dalam pemaparannya menjelaskan, fokus dari isi buku ‘Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum’ ada tiga. Antara lain pertama, Pergeseran masalah rasisme di Kota Surabaya menjadi masalah Operasi Keamanan di Papua. Kedua, Kehilangan kepastian hukum dan ketiga, Pergeseran dari Pemerintahan Sipil ke Pemerintahan Pihak Keamanan. Ketiga masalah ini bukan hanya terjadi pada enam bulan itu saja tetapi sudah terjadi dan akan terus terjadi di Tanah Papua.

Baca Juga:  Freeport Indonesia Dukung Asosiasi Wartawan Papua Gelar Pelatihan Pengelolaan Media

Theo mengatakan bahwa dia menulis buku ini karena keprihatinannya terhadap situasi yang terjadi di Papua. Buktu tersebut, kata Theo, ditulis berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan dari berbagai media massa di Jayapura dan TV Nasional.

Secara umum, kata Teho, buku ini sangat sederhana karena mengisahkan tiga hal menonjol dan berdampak jangka panjang yang dituangkan dalam tiga fokus yang ia utarakan.
Kata dia, dalam buku itu ia mengisahkan masalah penting di Indonesia yakni adanya sikap diskriminasi dan rasis yang sebenarnya tidak direspons secara memadai. Telah terjadi pembiaran yang berakibat serius pada prinsip Bhineka Tunggal Ika dan ia juga melihat bahwa konflik horisontal sangat muda terjadi di Papua.

“Persoalan diskriminasi dan rasisme yang dibiarkan terjadia terhadap orang-orang Papua telah menyuburkan benih-benih konflik horizontal di masa yang akan datang. Pendekatan terhadap masalah di Papua selalu menggunakan pendekatan pengamanan atau militerisme, makanya Papua dibanjiri pasukan Polisi dan Tentara sampai menjadi wilayah yang secara de facto telah menjadi daerah operasi militer.”

“Walaupun keadaan sudah dinilai kondusif pasukan keamanan tidak ditarik dari Papua. Keadaan ini, kata dia, tidak menyelesaikan permasalahan di Tanah Papua. Sebaliknya justru akan memperkuat lingkaran kekerasan yang tetap dominan dalam kehidupan orang-orang asli Papua,” katanya.

Theo juga menyebutkan bahwa insiden-insiden yang menyulut pergolakan di Tanah Papua menjadi momentum bagi instansi-instansi keamanan untuk menyelenggarakan suatu operasi keamanan, yaitu melakukan penambahan jumlah pasukan Kepolisian (Brimob) dan Tentara untuk mengakhiri segala bentuk gerakan perlawanan politik di Tanah Papua, khususnya kelompok bersenjata (Tentara Pembebasan Nasional –Papua Barat), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), dan Komite Nasional Papua Barat yang menjadi sasaran utama.

Baca Juga:  Bangun RS Tak Harus Korbankan Warga Sekitar Sakit Akibat Banjir dan Kehilangan Tempat Tinggal

“Banyak orang asli Papua ditangkap berhubungan dengan pelbagai insiden, namun penangkapannya sering kurang jelas alasannya, apalagi buktinya. Alasan penangkapan karena person yang bersangkutan terlibat dan menjadi pendukung ULMWP atau KNPB yang menonjol juga bahwa mereka, kata Theo bahwa kemudian diproses hukum dan dijadikan tersangka dengan tuduhan makar,” paparnya.

Theo berkesimpulan bahwa akar segala macam perkembangan yang sangat negatif dan memprihatinkan yang justru cenderung merusak negara adalah sikap tidak mengakui martabat setiap manusia.

“Kalau kita mengakui sesama kita sebagai teman hidup yang sama harganya dan sama martabatnya maka segala insiden yang menjadi sarana perusakan dapat dihindari”, tegasnya.

Theo juga berharap agar dengan buku tersebut dapat mengantar para pembaca memahami apa yang terjadi selama 4,5 bulan di akhir tahun 2019 lalu dan akibatnya yang masih terasa hingga saat ini.

Sementara itu, Victor Mambor, Jurnalis Senior Papua memberikan apresiasi kepada SKPKC. Dia bilang orang Papua terlalu terlalu banyak bicara. Tetapi kita lemah dalam menulis, terutama dalam menulis laporan sebagai sebuah dokumentasi.

“Apa yang dilakukan oleh SKPKC harus lebih banyak dikerjakan. Dokumentasi ini sangat penting untuk kita bersama. Kita tidak punya dokumentasi yang cukup di papua, tidak hanya tentang HAM tetapi tentang banyak hal,” kata Mambor.

Dia mencontohkan, lagu yamke rambe yamko yang saat ini sedang diributkan, tidak banyak orang Papua yang mampu menjelaskan dengan jelas.

” Kita harus menyadari bahwa kita harus mendukomentasikan peristiwa-peristiwa penting di papua ini. Dan memperluas budaya literasi, budaya membaca dan tulis,” katanya.

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

Selain itu, Gustaf Kawer juga memberikan apresiasi kepada SKPKC. “Saya memberikan apresiasi kepada pak Theo dan tim SKPKC Fransiskan. Karena ini akan jadi referensi bagi kita yang di papua. karena akan mengingatkan ingatan penderitaan kita yang terus menerus terjadi,” katanya.

Kata Kawer, menurut hemat dia, negara tidak hadir dalam kasus rasisme tahun lalu di Surabaya. Bukan hanya itu, menurutnya, kasus rasisme sudah lama terjadi, bahkan sejak Papua baru dianeskasi ke Indonesia.

“Dalam kasus rasisme kemarin, saya melihat bahwa negara tidak hadir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu,” tegasnya.

Dia menjelaskan, kalau dalam UU Penghapusan diskriminasi ras dan etnis dalam UU NO. 40 tahun 2008 pemerintah daerah dan pusat diwajibkan untuk melindungi masyarakat dari diskriminasi ras dan etnis sebagai tugas perlindungan. Sedangkan tugas pengawasan itu diberikan kewenangan kepada Komnas HAM, RI dan Daerah Papua.

“Dalam aski anti rasisme tahun lalu tidak ada upaya-upaya pemerintah kota dan provinsi di surabaya. Di papua juga tidak ada upaya pemerintah daerah agar peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi,” katanya.

Dia melanjutkan, Peristiwa-peristiwa serupa ini sudah terus terjadi berulang kali sejak aneksasi papua dan hingga kini masih terjadi. ini bukti bawah negara tidak hadir dalam mengatasi persoalan ini.

“Dari semua kasus ini justru yang hadir adalah aparat. harusnya yang hadir adalah pemerintah yang diberikan mandat lewat UU anti diskriminasi ras dan etnis dan Komnas ham yang diberikan mandat untuk pengawasan,” tegas Kawer.

Pewarta: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaYance Yobe dan Maxsimus Sedik Pimpin AMP Yogyakarta
Artikel berikutnyaTNI i sutim tok giaman long pablik olsem 20-pela memba bilong TPNPB Intan Jaya i givap