Banjir Hantam Sorong Karena Galian C dan Penebangan Liar

0
1422

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Keadalian dan Lingkungan ungkap kegagalan pemerintah kota Sorong dalam menangani isu lingkungan yang menyebabkan banjir terus melanda Kota Sorong, Papua Barat.

Menurut Koalisi, banjir di Kota Sorong terjadi terus karena pemberian izin secara ilegal sangat marak untuk galian C di 10 distrik di Kota Sorong, dan juga karena penebangan kayu secara liar terus terjadi.

“Akar-akar pohon sudah tidak bisa lagi menyerap air, kemudian sisa-sisa material galian C juga ikut terbawa air ketika hujan, jadi faktor-faktor inilah yang penyebabnya,” ungkap Koordinator Papua Forest Watch, Emma Malaseme kepada suarapapua.com pada  Sabtu, (25/7/20)  lalu.

Dia menjelaskan, selain penyebab utama, juga terjadi karena kurang perhatiannya pemerintah melalui dinas terkait dalam tata kelola pembangunan kota. Sebab, kata dia, semestinya dinas penataan ruang dan wilayah benar-benar menjalankan tugasnya dan mengontrol semua aktivitas yang berujung pada musibah.

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

Dalam keterangan pers yang diterima suarapapua.com, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan dan Lingkungan memandang pemerintah kota Sorong abai dalam mencegah terjadinya banjir dan mengurangi resiko warga terdampak banjir.

ads

“Pemerintah belum proaktif melakukan response cepat atas pemulihan kondisi warga terdampak, fasilitas sosial, kesehatan dan lingkungan,” tulis Koalisi.

Koalisi organisasi masyarakat sipil ini juga turut berduka dan prihatin atas bencana yang mengakibatkan korban jiwa meninggal dunia.

“Ada 5 orang yang meninggal dunia akibat banjir yang melanda kota Sorong,” kata Emma.

Ketujuh ormas sipil tersebut menilai bencana banjir bukan peristiwa alam biasa,
melainkan buruknya tata kelola pembangunan yang mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan, yang menghormati HAM dan kelestarian lingkungan.

Baca Juga:  Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

Praktik alih fungsi lahan masih terjadi, eksploitasi hasil hutan kayu dan ekstraksi penambangan pasir pada kawasan hutan di daerah hulu sungai yang topografinya relatif curam. Hal ini berlangsung secara legal dan atau melanggar aturan negara maupun adat.

Daerah aliran sungai yang semestinya tidak boleh ada pemukiman dan infrastruktur lainnya, tetapi terus dikembangkan menjadi kawasan pembangunan kota dan fasilitas bisnis komersial. Karenanya, ketika hutan dan tanah tidak lagi mampu secara maksimal menjalankan fungsi ekologi sebagai daerah resapan, maka perubahan ini mendatangkan bencana.

Baca Juga:  Penolakan Memori Banding, Gobay: Majelis Hakim PTTUN Manado Tidak Mengerti Konteks Papua

“Kami mendesak kepada pemerintah agar segera memberikan bantuan program tanggap cepat terhadap warga terdampak banjir untuk pemulihan aktifitas sosial ekonomi dan kesehatan,” imbuhnya.

Dia menambahkan, volume air hujan yang terus meningkat dan mengalir tidak terkendali, terakumulasi dengan cepat dan mengenangi kota, mengancam keselamatan manusia. Kondisi saluran buruk disertai sampah dan sistem drainase kota belum memadai, sehingga air bebas meluap, menggusur, menenggelamkan dan membawa harta benda.

Tujuh Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Keadilan dan Lingkungan:

1. Papua Forest Watch
2. Perkumpulan Belantara Papua
3. Perkumpulan Bantuan Hukum dan Keadilan Papua
4. AMAN Sorong Raya
5. WALHI Papua
6. Greenpeach Indonesia
7. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Pewarta: Yance Agapa
Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaPapua dalam Ancaman Moncong Senjata
Artikel berikutnyaBenny Wenda Dukung Petisi Rakyat Papua Tolak Otsus Jilid II