Antropologi dan Gadis Penjaga Kampung

0
2543

Oleh: Wensilaus Fatubun)*

Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel Ketika Penyakit Mewabah di Merauke Tahun 1910 – 1921 yang telah dipublikasikan oleh Suara Papua. Atau tulisan kedua, dari serial tulisan yang dirancang oleh penulis.

Saat ini, kita sedang bergumul dengan pandemik covid-19. Sejak pertama ditemukan pasien positif covid-19 pada 17 Maret lalu hingga kini angka pasien positif covid-19 di provinsi Papua terus meningkat. Trendnya terus naik dan belum ada tanda-tanda penurunan, serta pelbagai persoalan atau yang dianggap bermasalah seiring dengan pandemik ini, seperti alat uji cepat Biozek yang didatangkan Kimia Farma dari Belanda diduga bermasalah, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan untuk membuka kembali moda transportasi dan aktivitas bisnis, ancaman krisis pangan, angka kriminalitas meningkat dan lain-lain.

Berhadapan dengan pandemik ini, berbagai diskusi diusahakan untuk mencari solusi. Tulisan ini merefleksikan sistem pelayanan kesehatan di Papua, dengan belajar dari pengalaman Belanda dalam mengatasi pandemik dan pelayanan kesehatan dengan membangun sebuah sistem kesejahteraan masyarakat.

Perkawinan silang antropologi & ilmu kedokteran

ads

Setelah bergumul cukup lama dengan penyakit Gromullon dan pandemik flu-spanyol (lihat tulisan “ketika penyakit mewabah di Merauke), pada tahun 1948, dokter A. Y. Goorsneus melaporkan Merauke bebas dari penyakit-penyakit tersebut (Jan Boelaars, 1995; Meterai, 1970; van Baal, 1938).

Keberhasilan itu disebabkan oleh program kampung teladan, dan patroli rutin dari tenaga medis di kampung-kampung teladan itu. Namun, keberhasilan tersebut belum membebaskan penduduk Merauke, khususnya Malind anim dari masalah kesehatan ibu dan anak, malaria, dan berbagai penyakit tropis lainnya, khususnya tingginya tingkat kematian ibu dan anak di perkampungan teladan Malind anim. Hal ini mendesak pemerintah Hindia Belanda menyusun sebuah sistem kerja kesejahteraan kampung yang didahului dengan penelitian antropologi yang luas dan investigasi yang mendalam terhadap kondisi kesehatan, keadaan sosial, dan kebudayaan penduduk asli.

Mengapa pentingnya ilmu antropologi dalam pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat? Pelayanan kesehatan, terutama di komunitas masyarakat adat, memiliki aspek antropologis yang penting. Kemajuan program kesehatan berdasarkan pertimbangan medis yang sehat, terkadang menemui kesulitan yang tidak terduga atau bahkan berakhir dengan kegagalan karena seseorang tidak memperhitungkan budaya atau orang yang dilayaninya (lihat van Baal, 1981).

Di sinilah penting perkawinan silang ilmu antropologi dan ilmu kesehatan. Artinya, pilihan pendekatan integral antara ilmu antropologi dan ilmu kesehatan ini untuk memahami penduduk asli, sehingga ada pengetahuan yang cukup tentang komunitas masyarakat adat, dan ada pengembangan rencana aksi dan sistem kesehatan yang baik dan bermutu, serta ada akulturasi yang bermartabat (bdk. Pim Schoorl, 1997; van Baal, 1966). Kebudayaan masyarakat adat dianggap penting dan sejajar dengan sistem kesehatan modern. Program kesehatan harus ada keseimbangan antara penelitian dasar (antropologi), perawatan kuratif dan preventif, pendidikan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Terlebih lagi, proyek semacam itu hanya akan berhasil jika perluasan pekerjaan medis sejalan dengan perkembangan administrasi, politik, ekonomi dan pendidikan.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Pada tahun 1951,  dr.  L.M. Veeger, yang baru saja tiba di Merauke, langsung mulai melakukan penelitian dengan berbekal ilmu antropologi yang ia dapat ketika masih di negeri Belanda. Ia bikin penelitian dasar antropologi dan hasilnya “dikawinkan” dengan ilmu kedokteran dalam eksperimen-eksperimen pelayanan kesehatan di perkampungan Malind anim di Merauke (L.M. Veeger, 1959). Hal yang serupa juga dilakukan oleh F.P.M. van Vincent Amelsvoort terhadap komunitas masyarakat adat Asmat di Asmat (Amelsvoort, Vincent F.P.M. van, 1964). Menurut dokter Veeger, pendekatan “perkawinan silang antropologi dan ilmu kesehatan” membuat kemajuan yang baik. Mulai dari tinggal beberapa hari di komunitas adat, berdialog dengan para tetua adat tentang nilai-nilai adat, mencatat dan memperkenalkan sistem kesehatan modern, hingga adanya partisipasi anak muda adat dalam membangun kesehatan dan kesejahteraan kampung (L.M. Veeger, 1959).

Gadis penjaga kampung

Setelah melakukan pengamatan dan penelitian lapangan pada komunitas adat Malind anim, serta mendapat masukan dengan membaca tulisan-tulisan Petrus Vertenten, van Baal, dan para misionaris katolik selama kurang lebih dua tahun, dr. Veeger menciptakan sebuah metode baru untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Metode itu dikenal “Sistem Pekerja Kesejahteraan Kampung”, dengan tahap eksperimen dilakukan di komunitas Malind dan Yeinan di Merauke. L.M Veeger (1919-2004) adalah seorang dokter asal Nijmegen (Belanda) yang sangat sosial dan idealis, bertugas di Merauke sebagai seorang dokter umum sebelum memiliki spesialisasi. Ia dikirim oleh pemerintah Belanda pada tahun 1951, dan pada tahun 1959, ia menulis disertasi doktoralnya tentang pengalaman dengan tahap eksperimental sistem perawatan kampung yang dikembangkannya di Merauke.

Dokter Veeger menegaskan bahwa layanan kesehatan di Merauke harus memiliki fungsi sebagai penjaga kampung supaya tetap sehat dengan tugas utama adalah meningkatkan kebersihan dan kondisi sosial di daerah perkampungan. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan memiliki hubungan langsung dengan kesejahteraan.

Untuk mewujudkan metode layanan kesehatan itu, para anak gadis asli Papua dipilih untuk menjadi bagian dari sistem ini. Dokter Veeger memilih gadis-gadis asli Papua dari Sekolah Lanjutan di Merauke, yang sudah memiliki pendidikan enam tahun dan menghabiskan tiga tahun di sekolah asrama para suster Putri Bunda Hati Kudus (Biarawati Katolik). Gadis-gadis lain juga dipilih oleh guru di kampung mereka setelah percakapan dengan dokter Veeger dan mendapat masukan dari kepala kampung.

Artinya, dokter, guru dan kepala kampung terlibat bersama dalam perekrutan anak-anak gadis itu. Selain itu, gadis-gadis itu juga diberi keleluasan memutuskan untuk mengikuti kursus selama hampir dua tahun dan mengisi posisi sebagai “penjaga kampung” sendiri. Orang tua mereka dimintai restu. Inilah tahapan perekrutan, dan mengikuti pendidikan sebagai titik awal para gadis itu untuk kembali bekerja di kampungnya sendiri.

Pada tahun 1954, empat gadis dilatih oleh dr. Veeger untuk menjadi pekerja kesejahteraan kampung dan menerima janji. Para gadis itu sebagai “penjaga kampung” dimana pekerjaan mereka bersifat preventif dan kuratif serta berfokus terutama pada perawatan ibu dan anak dan karenanya pengurangan angka kematian bayi, yang umumnya sangat tinggi di Papua. Ini yang lebih penting. Mereka diberi pengakuan untuk dapat menangani penyakit dengan dukungan kualitatif (menyediakan dan memberi nasihat tentang obat-obatan yang tidak berbahaya dan merawat pasien yang lebih tua dan yang tidak dipungut biaya); perawatan prenatal (pemeriksaan fisik rutin, saran tentang nutrisi dan gaya hidup, tidak ada lagi kerja keras; perawatan pascanatus (untuk merawat ibu bersalin selama 5-7 hari, di ruang bersalin dan merawat bayi); perawatan bayi (survei mingguan, saran tentang gaya hidup higienis, mandi, tidur gunakan kelambu, jauhkan anak-anak dari hutan); perhatian untuk taman kanak-kanak dan anak sekolah (ujian bulanan); pendidikan kesehatan (selama kunjungan ke rumah dan inspeksi kampung); contoh pribadi dari pengurus kampung (mandi setiap hari, pakaian bersih, gunakan sabun dan gigi bersih, gunakan kelambu, makan makanan sehat, bekerja di kebun sayurnya); administrasi (pendaftaran penduduk, dapatkan ke dalam kehidupan desa, penyakit yang terjadi di desa, situasi makanan). Empat gadis “penjaga kampung” ini bekerja dengan semangat melayani warga kampung. Mereka tinggal di rumah. Waktu itu, belum ada Puskesmas untuk orang kampung berobat atau berkonsultasi. Mereka berjalan dari rumah ke rumah. Terkadang bikin penyuluhan kesehatan dan kesejahteraan kampung di bawa pohon. Mereka mencatat dengan rapih setiap peristiwa, dan melaporkannya ketika dr. Veeger berkunjung ke kampung.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dr. Veeger dan para gadis “penjaga kampung” ini bekerja dengan tekun dan akhirnya melahirkan kepercayaan dan kepuasan warga kampung. Menurut Marjolijn Veeger, salah seorang putri dokter Veeger, bahwa dr. Veeger telah bekerja keras dan dengan penuh kepuasan bagi orang Papua. Ia memperlakukan mereka dengan penuh hormat.

“Saya bisa merasakan itu dalam kunjungan terakhir kami ke Merauke (2019), ketika kami bertemu dengan beberapa orang tua yang bekerja dengannya, ia dipuji secara luas karena ia memperlakukan semua orang dengan adil, merata, Eropa atau Papua. Ada begitu banyak yang harus dilakukan secara medis. Dia bekerja di rumah sakit (RSUD) dan sering melakukan perjalanan ke kampung-kampung untuk mengunjungi penduduk asli dan ini adalah perjalanan yang menyenangkan. Menyusuri sungai dan rawa dengan perahu penduduk asli dan kemudian pindah naik perahu motor. Ia biasanya bersama seorang gadis penjaga kampung atau seorang perawat dan beberapa orang yang bertugas angkut barang-barang, juga harus berjalan berjam-jam untuk mencapai sebuah desa. Mereka biasanya diterima di sana dengan hangat karena penduduk asli sekarang memiliki kepercayaan dalam perawatan medis”, kisah Marjolijn.

Metode pelayanan kesehatan masyarakat ini menciptakan sebuah kondisi adanya tanggungjawab bersama. Petugas medis, guru, kepala kampung dan warga terlibat bersama-sama. Sama-sama tanpa yang satu menuntut bayar kepada yang lain. Dr. Veeger menulis:

“To give the program a chance to succeed, the population was asked whether they were interested in the aid. We turn to the predominant men and women of the village, both young and old. It turned out that help from our side certainly would be appreciated. Most mothers were depressed by the large number of children who died each year. This did not encourage the desire for children because costs for pregnancy were heavy. Both younger women and men did not want to acquiesce in the existing situation. They realized very well that they would not continue in the same way without risking that the tribe would become too fragile and could eventually go down. In later discussions it became clear that it was important that outside help strengthened the position of women in the community, because they would come under the special care of the service of health care. And the elderly were also very fond of their own “hospital” in their village. Although they had a great confidence in their wizards, they also knew the power of the western medicines. For them, the image of their village also rose when a second person with an education was placed next to a teacher. Especially the connection with the health service proved to be of great value to the population.”

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Pada April 1957, surat kabar ‘De Maasbode’ di Belanda melaporkan bahwa pekerjaan medis dengan pendekatan “gadis penjaga kampung” di Papua memiliki hasil yang mengejutkan. Kematian ibu dan anak cukup terkontrol. Keberhasilan ini tidak lepas dari pilihan kerja keras dokter Louise M. Veeger, pendekatan sistem kesejahteraan kampung, para gadis penjaga kampung dan kontribusi ilmu antropologi. Bagaimana dengan sistem kesehatan di era administrasi Indonesia? Kami akan membahas dalam tulisan berikutnya.

)* Penulis adalah Pembuat Film Dokumenter Papua

Referensi

Amelsvoort, Vincent F.P.M. van. 1964. Early introduction of integrated rural health into a primitive society. A New Guinea study in medical anthropology.Van Gorcum & Comp.

Baal, J.V. 1938. De bevolking van Zuid Nieuw Guinea onder Nederlandsch Bestuur: 36 Jaren. Banyoemas.

——————-. 1966. Dema, description and analysis of Marind-Anim culture (South New Guinea). Martinus Nijhoff: The Haque.

——————-. 1981. Man’s quest for partnership (The anthropological foundations of ethics and religion). Van Gorcum: Assen.

Boelaars, Jan. 1953. Nieuw Guinea uw mensen zijn wonderbaar: Het leven der Papua’s in Zuid Nieuw Guinea. Paul Brand N.V: Bussum.

——————. 1989. Manusia Irian (Dahulu, Sekarang, Masa Depan). Penerbit PT Gramedia: Jakarta.

——————-. 1995. Met de Papoea’s samen op weg. (De baanbrekers-Het openleggen van het binnenland). Kampen: J.H. Kok.

Meterai, J. 1972. Marind 70 tahun dalam proses akulturasi, Merauke.

Schoorl, J.W. (Pim) (editor). 2001. Orang-Belanda di Irian Jaya, 1945-1962. Penerbit Garba Budaya: Jakarta.

Veeger, L.M. 1959. Papoea-dorpsverzorgsters, een sociaal-hygiënisch experiment in Nederlands Zuid Nieuw-Guinea. Universiteit van Amsterdam: Amsterdam.

Artikel sebelumnyaPembebasan Lima Tapol Papua di Jakarta Dibatalkan
Artikel berikutnyaRatusan Tenaga Honorer RSUD Nabire Ancam Moker