Dua Ideologi “Harga Mati” Telah Lahirkan Krisis Kemanusiaan di Papua

0
2814
Koordinator Jaringan Papua Damai (JDP) Pastor John Bunai, Pr - ( Agus Pabika / SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pastor Alberto John Bunai, Pr, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), mengungkapkan bahwa Papua sedang alami krisis kemanusiaan. Krisis kemanusiaan di tanah Papua terjadi karena dua harga yang sama-sama ‘mati’. Yaitu NKRI harga mati dan Papua Merdeka Harga Mati.

Menurutnya, ada dua ideologi dan pemikiran yang sama-sama harga mati itu telah melahirkan suasana krisis kemanusiaan di Tanah Papua. Hal ini diungkapkan Pastor Bunai saat diwawancarai suarapapua.com di Abepura pada Sabtu (1/8/2020)

Pastor Bunai menjelaskan, dua pemikiran dan ideologi itu terus dihidupkan Indonesia. JDP menyebutnya dengan Papua adalah NKRI harga mati dan Papua Merdeka harga mati.

“Kedua-duanya harga mati. Nah, harga mati ini sama-sama melahirkan krisis kemanusiaan,” tegas Pastor Bunai, yang juga Koordinator 57 Pastor Pribumi Papua dari lima keuskupan di Tanah Papua.

Krisis kemanusiaan itu terjadi ketika Indonesia mempertahankan Papua dengan slogan NKRI harga mati. Dalam penerapannya, ketika orang Papua berbeda pandangan dengan ideologi NKRI harga mati, maka akan dihabiskan dengan berbagai macam cara. Mulai dari tembak, tabrak lari, diracuni, diculik dan berbagai macam cara yang lainnya.

ads

“Berbagai cara yang digunakan untuk membungkam suara-suara dari Papua ini namanya pembunuhan. Ujung-ujungnya adalah krisis kemanusiaan terjadi. Sama seperti yang terjadi saat ini. Banyak anak-anak Papua mati dengan banyak cara,” ujarnya.

Atau dengan cara yang lain, kata dia, merusak sekolah-sekolah dengan cara menciptakan suasana yang tidak aman bagi pengajar dan anak-anak sekolah. Dia mengaku, telah mendapat banyak laporan dan keluhan dari para guru tentang kondisi dimana anak-anak ketika masuk kuliah, susah untuk mencatat [menulis] dengan baik.

“Ini juga krisis kemanusiaan. Karena dikondisikan atas nama NKRI harga mati dan Papua Merdeka harga mati. Situasi itu diciptakan agar seolah-olah Papua tidak aman. Sehingga guru-guru tidak ada di sana. Maka dengan alasan tidak aman, guru-guru akan meninggalkan tempat tugas. Anak-anak tidak belajar. Ini membunuh generasi muda Papua yang pintar akan tidak ada,” bebernya.

Hal lain, lanjut dia, misalnya situasi di rumah sakit juga buat orang Papua jadi takut ke rumah sakit. Karena seringkali setelah sampai di rumah sakit, pulang dalam kondisi sudah meninggal.

“Ini tanda-tanda krisis kemanusiaan. Lalu kondisi ini ditunjang juga dengan grup-grup atas nama negara dari sipil. Ini memperparah situasi keamanan. Padahal Papua itu tempat paling aman. Kami makin mengerti bahwa ini yang namanya intimidasi dan teror,” katanya.

Baca Juga:  Pelaku Penyiksaan Harus Diadili, Desakan Copot Pangdam Cenderawasih Terus Disuarakan

Kondisi itu, menurut Pastor Bunai, bertolak belakang dengan apa yang diajarkan di sekolah-sekolah. Dimana, pada saat sekolah, diajarkan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, bhineka tunggal ika, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan P4.

“Kami mencintai Indonesia dari Sabang – Merauke. Tapi hari-hari ini, dengan melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi, kami mempertanyakan. Jangan sampai di sekolah dulu diajarkan lain, yang dipraktikkan lain. Papua lagi krisis kemanusiaan,” urainya.

Dengan kondisi seperti ini, dia sarankan agar hidupkan kembali nilai-nilai pancasila. “Mari kita hidupkan nilai-nilai ini. Jangan pikir hal-hal yang besar,” ujarnya.

Di era Otsus, kata dia, krisis kemanusiaan makin parah. Karena lahir berbagai macam gerakan, pasukan militer terus dikirim ke Papua. Kata Pastor, peristiwa penembakan terhadap ayah dan anak di Nduga oleh TNI dan pembunuhan terhadap seorang warga di Boven Digoel menandakan bahwa krisis kemanusiaan benar-benar sedang terjadi di Papua.

Fakta Slow Motion Genocide

Dalam buku karya Dr. Jim berjudul “West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?” yang diterbitkan oleh University of Sydney, Centre for Peace and Conflict Studies, tertulis dengan jelas bahwa jumlah total OAP hingga tahun 2010 mencapai 3,612,85641.

Dicatat dalam buku itu, jumlah OAP pada tahun 1971 sebanyak 887,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 1.505.405. Artinya, pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84%. Sementara itu, jumlah penduduk non Papua tahun 1971 sebanyak 36.000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 708,425. Jadi, presentase pertumbuhan penduduk non Papua pertahunnya 10.82%.

Hingga pertengahan tahun 2010, jumlah OAP mencapai 1,730.336 atau 47.89%, sementara Non Papua mencapai 1,882,517 atau 52,10%. Di akhir tahun 2010, jumlahnya menjadi: a) Populasi OAP mencapai 1,760,557 atau 48.73%. b) Populasi Non Papua mencapai 1,852,297 atau 51.27%. Jadi, jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3,612,854 atau 100%.

Doktor Jim memperkirakan, pada tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan akan mencapai 7,287,463 dengan perbandingan: jumlah OAP 2,112,681 atau 28.99%, dan jumlah Non Papua 5,174,782 atau 71.01%.

Baca Juga:  PMKRI Kecam Tindakan Biadap Oknum Anggota TNI Siksa Warga Sipil di Papua

Itu artinya, pertumbuhan jumlah OAP lambat, dibandingkan non Papua. Apa penyebabnya? Jim berpendapat, selain masalah sosial dan pelanggaran HAM, penyebab utamanya adalah migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar.

Meski ada pengakuan dan data penelitian diatas, Ir. J.A. Djarot Soetanto, MM yang kala itu menjabat sebagai Kepala BPS Provinsi Papua, membantahnya. Ia tegaskan, isu soal adanya pembasmian orang asli Papua secara terencana adalah tidak benar.

Djarot menjabarkan presentase perbandingan jumlah OAP dan Non Papua masih didominasi oleh OAP. Jumlah penduduk Papua hasil sensus 2010 menunjukan 2.833.381, dimana OAP sebanyak 76% dan pendatang 24%.

Catatan lengkapnya baca di sini: Pemusnahan OAP, Dari Pelanggaran HAM Hingga Program Transmigrasi (Bagian I)  dan Pemusnahan OAP, Dari Pelanggaran HAM Hingga Program Transmigrasi (Bagian II/Habis)

Gembala Kaum Terindas Bicara

Pada 5 Mei 2016 seperti diberitakan media ini, Pdt. dr. Socratez Sofyan Yoman menegaskan bahwa bangsa Papua hari ini sedang mengalami ‘slow motion genocide’, genosida yang terjadi perlahan-lahan.

Menurut Yoman, bangsa Papua tidak tinggal diam. Bangsa Papua sudah, sedang, dan akan terus berusaha berupaya dan berjuang untuk tetap eksis dan hidup di atas tanah airnya.

Pendeta Zocratez yang adalah pimpinan Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Tanah Papua ini dikabarkan bertemu dengan beberapa anggota perlemen dan dengan petinggi-petinggi agama di kawasan Melanesia dan Pasifik.

Yoman tidak sendiri bicara soal genosida di Papua Barat. Sebelumnya, Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Agung Brisbane, Australia, pada 1 Mei 2016, telah mengeluarkan sebuah laporan berjudul We Will Lose Everything.

Dokumen ini berisi catatan pelanggaran atas hak asasi manusia Papua di atas tanah airnya. Kesimpulan dari dokumen ini, adalah adanya genosida yang berjalan lambat, sedang terjadi di Papua, dan bangsa Papua terancam punah.

“Sistim hukum dan politik Indonesia tidak mau dan tidak mampu menangani pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat,” kata laporan tersebut seperti dikutip suarapapua.com, Rabu (18/5/2016).

“Mereka (bangsa Papua) selalu hidup dalam ketakutan akan kekerasan dan merasa putus asa dengan jumlah mereka yang berkurang sangat cepat serta terus terpinggirkannya mereka secara ekonomi dan sosial,” lanjut laporan ini.

Dr. Jim Elmslie, seorang akademisi dari Universitas Sidney, Australia, pernah melakukan penelitian di Papua dan mengeluarkan sebuah laporan dugaan pelanggaran HAM berat di Papua, berupa kepunahan bangsa Papua secara perlahan-lahan. Kesimpulan penelitiannya ini didukung oleh data statistik tentang komposisi kuantitas penduduk asli Papua dan non Papua.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Analisis statistik Elmslie dengan kuat memperlihatkan kesenjangan dari komposisi dari perkiraan total penduduk Papua tahun 2020: pendatang di Papua berjumlah 5.174.782 (71,1%) dan orang asli Papua di Papua hanya 2.112. 681 (28,99%). Elmslie menyebutnya, sebuah bencana demografis terparah, yang mengindikasikan adanya ‘slow motion genocide’.

Pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa pemerintahannya telah melakukan pendekatan kesejahteraan dalam menangani Papua. Misalnya, menanggapi soal laporan berjudul We Will Lose Everything, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan RI, Luhut Binsar Panjaitan, menanggapi dingin.

“Bila ada bukti awal, akan kita proses secara terbuka,” katanya singkat, dilansir rappler.com edisi 3 Mei 2016.

Nduga dan Krisis Kemanusiaan

Anum Siregar, Direktris Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jayapura kepada jubi.co.id menyebut konflik di Nduga bisa dilihat dari dua aspek. Direktur Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) Anum Siregar mengatakan, sisi pertama adalah krisis kemanusiaan dan kedua siklus kekerasan yang terus terjadi antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

Menurut Anum, ini ditandai dengan tak adanya masyarakat Nduga di kampung-kampung. Mereka semua harus mengungsi agar tak menjadi korban dari konflik yang terjadi.

Seperti dikutip media ini dari bbc.com, menurut Peneliti Tim Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, atau LIPI, Aisyah Putri Budiarti, penyelesaian isu Papua tidak cukup hanya dengan pendekatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan.

“LIPI kan sudah memetakan empat akar masalah, kegagalan pembangunan itu menjadi salah satunya saja dari empat itu. Ada tiga masalah lain, ada persoalan pelanggaran HAM dan kekerasan negara, persoalan diskriminasi, dan persoalan sejarah status politik,” jelasnya.

Menurutnya, langkah strategis yang bisa dilakukan pemerintah adalah berkonsentrasi pada empat hal itu secara seimbang. “Jadi tidak setengah-setengah,” tegasnya.

“Dan ini yang menjadi kritik penanganan pemerintah terhadap Papua karena selama ini memang tidak Jokowi saja, selama dua puluh tahun ini pemerintah hanya fokus pada pembangunan,” kata dia.

Pewarta: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaSatu Warga Penyerang PosPolres Yalimo Tewas, Dua Anggota dan Satu Warga Terluka
Artikel berikutnyaKehadiran Kodim dan Polres Bungkam Ruang Gerak Masyarakat Sipil Puncak