BeritaPembela HAM Desak Pemprov Papua Segera Bentuk Tim Investigasi

Pembela HAM Desak Pemprov Papua Segera Bentuk Tim Investigasi

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Theo Hesegem, direktur eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), mengatakan, penembakan terhadap dua guru di distrik Beoga, kabupaten Puncak, Papua, agar tak terulang lagi, dibutuhkan langkah-langkah konkret dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten.

“Menurut saya, setelah kejadian di Beoga itu pemerintah harus siapkan format-format baru selain operasi militer. Perlu diselesaikan secara dialogis untuk mengakhiri konflik kekerasan di Tanah Papua,” ujarnya sebagaimana diulas dalam artikel yang diterima suarapapua.com di Wamena, Minggu (18/4/2021) kemarin.

Dua guru yang ditembak mati itu masing-masing Oktovianus Rayo (42), guru di SD Inpres Kelmabet, Jambul, distrik Beoga. Ia ditembak 8 April 2021. Keesokan harinya, kejadian sama menimpa Yonathan Renden (28), guru di SMP Negeri 1 Beoga.

Keduanya diketahui ditembak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Ini sesuai pernyataan TPNPB-OPM pada tanggal 12 April 2021.

Theo menegaskan, kekerasan tak pernah akan berakhir jika tak ada langkah-langkah konkrit dari pemerintah.

“Setiap masalah akan berakhir kalau ada kebijakan dari seorang pemimpin, apalagi rakyat Papua selalu hadapi krisis kemanusiaan yang luar biasa. Masyarakat Papua sebagai warga negara Indonesia, tetapi pemerintah tidak punya hati dan kepedulian terhadap penyelesaian persoalan di Papua, ini sangat aneh.”

Dalam catatan Theo, hingga sejauh ini rakyat Papua terus ada di pihak korban, entah Orang Asli Papua (OAP) maupun non Papua. Rakyat selalu menjadi korban dari siklus kekerasan yang terus terjadi selama ini.

“Rakyat Papua adalah bagian dari warga negara Indonesia. Tetapi sepertinya tidak punya pemimpin dan merasa seperti kehilangan pemimpinnya.”

Pembela HAM ini menilai presiden Republik Indonesia tak punya niat yang baik untuk menyelesaikan persoalan di Tanah Papua melalui dialog yang bermartabat dan berwibawa.

“Kenyataan selama ini justru meminta aparat keamanan melakukan operasi penegakan hukum. Seharusnya Presiden Republik Indonesia belajar dari operasi penegakan hukum yang dilakukan sejak dari tahun 2018,” ujar Theo.

Menurut Hesegem, operasi penegakan hukum selalu gagal bahkan menambah persoalan baru di Tanah Papua.

“Artinya, kalau kita bicara dari sisi penegakan hukum, pelaku-pelaku yang melanggar hukum ditangkap, tetapi sejak operasi berlangsung aparat tidak berhasil menangkap Egianus Kogeya dan kawan-kawannya hingga hari ini mereka masih eksis melakukan perlawanan di hutan. Itu artinya, operasi penegakan hukum tidak berhasil,” bebernya.

Baca Juga:  Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

Theo mengungkapkan rangkaian kasus kekerasan di Tanah Papua berawal tahun 2018 di kabupaten Nduga, kemudian bergeser ke Intan Jaya dan Puncak. Katanya, siklus kekerasan mulai meningkat dan sulit dikendalikan oleh siapapun, walau operasi penegakan hukum gencar dilakukan negara melalui aparat keamanan.

“Saya pikir pemerintah daerah telah mengetahui kondisi riil, konflik kekerasan di Tanah Papua, tetapi tidak ada langkah satupun yang dilakukan untuk mengendalikan situasi. Ini bukti ketidakmampuan pemerintah pusat hingga daerah menangani persoalan konflik Papua,” ujarnya menilai.

Bukti ketidakmampuan itu, kata Theo, Papua harus kehilangan pahlawan tanpa tanda jasa yang bertugas di kabupaten Puncak tepatnya distrik Beoga.

“Menyikapi kejadian tersebut, saya selaku pembela HAM se-dunia telah menyurat kepada Gubernur Papua pada tanggal 11 April 2021, mendesak pemerintah untuk segera bentuk tim independen agar turun melakukan investigasi terkait penembakan terhadap dua guru di Beoga pada tanggal 8 dan 9 April 2021 itu,” jelasnya.

Hal ini menurut Theo cara pemerintah menangani sekaligus menyelesaikan persoalan konflik di Papua. Untuk itu, ia minta pemerintah perlu merespons dengan baik usulannya.

“Pemerintah bentuk tim investigasi atas tertembaknya dua orang guru di Beoga. Hasil investigasi kasus penembakan itu dapat dilaporkan secara resmi oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dengan sejumlah rekomendasi terkait penyelesaian konflik di Tanah Papua. Entah pemerintah pusat mau terima laporan dan rekomendasi atau tidak, itu persoalan kedua. Tetapi dari sisi kemanusiaan, pemerintah harus menyampaikan laporan itu.”

Jika diterima, ia yakin ada langkah-langkah konkrit yang bisa diambil pemerintah pusat. Bukan dengan operasi militer, melainkan ada langkah-langkah dialog yang berwibawa dan bermartabat.

“Karena kalau kita lihat dari kaca mata gelap, setelah penembakan terhadap dua guru sebagai pahlawan pendidikan nanti akan berdampak buruk. Maksud saya, pendidikan di daerah pedalaman tidak akan berjalan dengan baik, dan semua guru yang ada di wilayah pegunungan tengah akan merasa takut untuk bertahan dan secara psikologi juga pasti mereka terganggu setelah dua guru ditembak,” tuturnya.

Baca Juga:  Teror Aktivis Papua Terkait Video Penyiksaan, Kawer: Pengekangan Berekspresi Bentuk Pelanggaran HAM

Dari kejadian di Beoga pemerintah diharapkan mencari format baru selain operasi militer, sehingga bisa diselesaikan secara dialogis untuk mengakhiri konflik kekerasan di Tanah Papua.

“Persoalan tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan militerisme. Sebelum ada korban yang lain, saya harap, pemerintah membuka mata dan mencari solusi untuk memutuskan siklus kekerasan di Papua dan Papua Barat.”

“Apabila pemerintah pusat tidak mengambil langkah-langkah konkret selain operasi militer, saya percaya bahwa korban warga sipil baik OAP maupun non-Papua akan mengalami korban lagi,” tegas Theo.

Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, mengatakan, hukum internasional mewajibkan negara untuk menghukum pelaku dan memberikan keadilan bagi korban.

Karena itu, aparat berwenang di lapangan diminta segera melaksanakan penyelidikan yang imparsial, independen dan menyeluruh terhadap kejadian ini dan memastikan bahwa mereka yang bertanggungjawab diadili sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan tanpa menggunakan hukuman mati.

“Kami juga mendesak agar pemerintah memastikan bahwa respons atas kejadian ini tidak menimbulkan siklus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang baru. Aparat keamanan mempunyai sejarah panjang melakukan aksi balasan yang berakhir dengan warga sebagai korban. Kejahatan ini tidak boleh dijadikan alasan untuk merepresi dan melanggar hak asasi manusia warga di Papua,” harapnya.

Selain dua guru di distrik Beoga, Amnesty International Indonesia mencatat kejadian berikut adalah penembakan terhadap Udin (41), seorang tukang ojek di kampung Eromaga, distrik Omukia, kabupaten Puncak.

Sementara itu, hasil investigasi aparat Kepolisian, pelaku penembakan Ali Mom, pelajar SMA di Ilaga, kabupaten Puncak, adalah Lerry Mayu Telenggen dari kelompok Lekagak Telenggen.

“Lerry Mayu Telenggen intens menghubungi korban melalui telepon seluler,  yang mana pelaku menduga korban adalah aparat keamanan. Dari hasil komunikasi yang diperoleh Lerry Mayu Telenggen salah tembak dan mengira korban adalah aparat keamanan yang kemudian ditembak saat mengantarkan pinang dan rokok,” beber Kombes Pol M. Iqbal Alqudussy, kepala Humas Satgas Nemangkawi, dalam rilis yang diterima, Jumat (16/5/2021) siang, dilansir seputarpapua.com.

Baca Juga:  Berlakukan Operasi Habema, ULMWP: Militerisme di Papua Barat Bukan Solusi

Ali Mom ditemukan tewas dengan dua luka tembak di bagian kepala dan punggung serta luka bacok senjata tajam di bagian kening, di kampung Uloni, distrik Ilaga, kabupaten Puncak, Kamis (15/4/2021).

Iqbal menjelaskan, sebelum dan sesudah melakukan aksi penembakan terhadap Ali Mom, Lerry langsung melaporkan ke pimpinannya, Lekagak Telenggen.

“Lerry menghubungi Lekagak dan memberitahukan bahwa dia bersama pasukan telah menembak seseorang sekitar pukul 17.00.WIT,” kata Iqbal.

Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D Fakhiri ketika dikonfirmasi Jumat (16/4/2021) pagi di ruang kerjanya, membenarkan, pelajar kelas III SMA Negeri 1 Ilaga, Ali Mom, tewas ditembak KKB.

Korban menurut Kapolda, tewas dengan luka tembak dan sabetan senjata tajam di bagian kepala dan badan. Bahkan motor yang digunakan korban dibakar.

“Korban tewas seketika di lokasi kejadian usai ditembak di kepala dan punggung, serta luka bacok senjata tajam.”

Kapolda Papua belum bisa menyimpulkan kasus penembakan itu, apalagi korban merupakan orang asli kabupaten Puncak.

“Belum diketahui motif dari aksi itu, yang jelas masih didalami,” imbuhnya.

TPNPB-OPM juga sebelumnya telah membakar sebuah helikopter yang ada di bandar udara Ilaga.

Diberitakan media ini sebelumnya, International Coalition for Papua (ICP) merilis kompilasi pelanggaran HAM di Tanah Papua pada periode Januari hingga Maret 2021. Dalam laporan itu tercatat delapan kasus pembunuhan diluar hukum. Tujuh diantaranya konflik bersenjata di pegunungan tengah Papua.

Kasus-kasus ini, menurut ICP, tak ada investigasi yang dilakukan karena militer mengklaim para korban terkait dengan TPNPB-OPM. Intensitas konflik yang sedang berlangsung kemungkinan akan semakin parah karena Jakarta terus mengarahkan pasukan non-organik tambahan ke Tanah Papua.

Berdasarkan catatan ICP, pasukan yang dikirim ke Papua setidaknya sebanyak 1.800 personil militer dan 100 anggota pasukan khusus Polri pada kuartal pertama 2021 untuk melawan TPNPB-OPM. Termusk menjaga ketertiban umum serta mengamankan kepentingan pemerintah.

Dengan kondisi yang semakin buruk, pihaknya terus menyerukan agar segera dilakukan kunjungan Komisaris Tinggi HAM PBB ke Tanah Papua.

Pewarta: Onoy Lokobal
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.