ULMWP Beberkan Tragedi Wamena Berdarah 23 September 2019

2
2625

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kerusuhan di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin, 23 September 2019, yang memakan korban jiwa dan harta benda, berawal dari aksi spontan para pelajar terhadap ungkapan rasisme dari seorang guru honorer berinisial RTP di SMU PGRI Wamena.

United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) menyatakan tak pernah terlibat dalam aksi massa yang berakhir rusuh di Lembah Agung Balim.

“Tuduhan tanpa dasar untuk mengkriminalisasikan organisasi perjuangan rakyat Papua. Maka, kami telah menyatakan menolak semua tuduhan pemerintah Indonesia yang terus mengkambinghitamkan ULMWP dan KNPB,” ujar Markus Haluk, direktur eksekutif ULMWP di West Papua, baru-baru ini.

Melalui media statement ULMWP yang diterima redaksi suarapapua.com, Haluk menegaskan, “Menolak keras tuduhan Kepolisian Republik Indonesia yang mengkriminalisasi ULMWP dan KNPB. Ini sebagai bukti ketidakmampuan Polisi menyelesaikan kasus rasisme terhadap Bangsa Papua.”

Tak Pernah Mobilisasi Massa

ads

Komponen perjuangan Papua merdeka, tegas Haluk, tak pernah mobilisasi massa di kota Wamena.

“ULMWP secara tegas menyampaikan bahwa dalam peristiwa Wamena tidak terjadi mobilisasi orang dari gunung-gunung atau di luar distrik Wamena Kota dan sekitarnya yang masuk terlibat dalam peristiwa Wamena.”

Baca Juga: KNPB: Kami Tidak Terlibat Dalam Aksi Pelajar di Wamena

Faktanya, sebut dia, peristiwa ini merupakan sebagai bentuk selfdefense, upaya mempertahankan diri serta tindakan kemarahan spontan oleh para siswa dan warga distrik Wamena Kota dan sekitarnya yang menyaksikan penembakan dan korban berjatuhan terhadap para pelajar.

Haluk mengungkapkan, sesuai hukum adat orang Papua, secara khusus suku Hubula di Lembah Balim, suku Yali, Walak, Lani, Mek, Nduga dan sekitarnya, jika anak-anak atau kaum perempuan tersimbah darah, siapapun menyaksikannya akan tetap tergerak hatinya melakukan protes perlawanan.

“Dalam bahasa Wamena, ‘Humi yukurugi wene inyokodek’ artinya, kaum perempuan dan anak-anak tidak tahu masalah. Karena itu, mereka mesti dilindungi. Tetapi sebaliknya, bila ibu-ibu dan anak-anak yang menjadi korban, ‘inyawim hiam-hiam ninane uok’ artinya, kita akan lakukan pembelaan dan perlawanan pada sore-malam,” bebernya, 11 Oktober 2019.

Situasi saat itu menurutnya murni pembalasan tatkala diketahui orang Papua jadi korban. Kurang lebih 15 orang Wamena dan sekitar ditembak mati dan 44 orang mengalami luka-luka tembak.

“Karena berjatuhan korban, mengakibatkan terjadinya protes perlawanan secara spontanitas oleh masyarakat. Sebaliknya, warga non Papua berlindung dibalik senjata aparat keamanan hingga mengungsi di kantor TNI/Polri terdekat di Kota Wamena. Pada saat yang sama aparat keamanan melakukan penembakan terhadap warga sipil orang asli Papua yang sebagiannya adalah siswa sekolah,” ungkapnya.

Dengan kata lain, lanjut Haluk, warga non Papua bersatu dan bersandar pada aparat, sedangkan warga Papua khususnya orang Wamena sendirian menghadapi TNI/Polri bersama warga nusantara yang telah mempersenjatai diri dengan senjata tajam.

Baca Juga: Saksi: Aksi Ricuh Wamena Dipicu Tembakan Peringatan Aparat

Sekalipun marah atas jatuhnya korban di pihak masyarakat Papua, namun menurut dia, sebaliknya dengan hati kasih sebagian warga non Papua dilindungi dan diselamatkan oleh warga setempat dari suku Hubula, Yali, Lani, Walak, dan Nduga

“Tindakan perlindungan dan penyelamatan yang terjadi sejalan dengan pesan tetuah adat bahwa ‘Sely wim meke uma ukiaga halok mege bisap nen hanom apema buu’, kendatipun mereka adalah musuhmu, tetapi kalau sudah masuk di rumah harus melindungi mereka. Berikan juga rokok sebagai tanda larang/perlindungan kepadanya.”

Pesan luhur para leluhur ini, imbuh Haluk, senantiasa dipegang dan diwariskan oleh setiap orang Papua khususnya dari suku Hubula dan suku-suku sekitarnya.

Turut Berduka

ULMWP sebelumnya menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas jatuhnya korban jiwa warga sipil dalam tragedi berdarah di Wamena.

Juga, turut berdukacita atas jatuhnya lima orang korban pada 23 September di Ekspo Waena, kota Jayapura. Empat orang mahasiswa dan 1 anggota TNI meninggal dunia.

Baca Juga:  Hilangnya Hak Politik OAP Pada Pileg 2024 Disoroti Sejumlah Tokoh Papua

Baca Juga: Amnesty: Insiden Wamena, Satu Hari Paling Berdarah Dalam 20 Tahun Terakhir

Selain itu, ULMWP berbelasungkawa terhadap korban aksi ricuh di Waghete, kabupaten Deiyai, kabupaten Puncak Papua, Kota Jayapura, yang terjadi 30 Agustus hingga 1 September 2019, serta warga Nduga sejak minggu pertama Desember 2018 lalu.

Desakan

Dalam situasi tegang dan memprihatinkan setelah terjadi serangkaian tragedi, ULMWP menurut Haluk, mengajak seluruh rakyat Papua dan organisasi perjuangan Papua agar tak terprovokasi terhadap berbagai setingan dengan kemunculan kelompok milisi sipil dan dugaan negara memfasilitasi kelompok garis keras Islam ke West Papua.

“Kami menegaskan bahwa perjuangan kami bukan melawan warga non Papua di Papua dan Indonesia. Perjuangan nasional bangsa Papua melalui ULMWP juga tidak dilandasi oleh sentimen SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), melainkan terus menuntut kepada pemerintah Indonesia dan para pihak yang terlibat di masa lalu untuk memberikan referendum sebagai solusi demokratis, adil dan beradap untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua sebagaimana segenap rakyat Indonesia memperolehnya melalui proklamasi pada 17 Agustus 1945 dari kekuasaan Jepang dan Belanda,” tulisnya.

ULMWP juga mendesak tim investigasi independen Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk berkunjung ke West Papua dalam rangka melihat, mendengar dan meneliti akar kejahatan kemanusiaan dan diskriminasi rasial selama 57 tahun pendudukan di West Papua.

ULMWP selain mendesak pihak penegak hukum menindak tegas oknum anggota TNI, Polri maupun kelompok nusantara/milisi yang telah dengan sadar melakukan penembakan terhadap warga sipil di Fak-fak, Jayapura, Deiyai, Timika, Wamena dan daerah lain di Tanah Papua, juga menuntut segera bebaskan para aktivis dari tahanan.

“Membebaskan 94 orang yang dijadikan tersangka dan sebagian besar sedang ditahan di tahanan Kepolisian di Papua dan Indonesia.”

“Segera mengembalikan tujuh orang tahanan pejuang harga diri dan rasisme Papua ke Papua, yaitu wakil ketua II komite legislatif ULMWP Buchtar Tabuni, ketua umum KNPB Agus Kossay, ketua KNPB wilayah Timika Steven Itlay, presiden mahasiswa Uncen Ferry Gombo, presiden mahasiswa USTJ Alexander Gobay, Hengky Hilapok dan Irwanus Uropmabin.”

Edison Waromi, ketua komite legislatif ULMWP menyatakan, berbagai perlakuan negara terhadap orang Papua selama ini tak dapat dibantah lagi, bahkan tindakan rasisme sudah terjadi dari dulu sejak proses aneksasi Papua ke negara Indonesia.

Karena itulah ia maklumi jika mahasiswa Papua tak betah di kota studi dan memilih pulang ke Papua.

“Selamat datang para mahasiswa eksodus yang mendapat ancaman nyata dan diskriminasi rasial selama dua bulan terakhir secara masif di asrama, kontrakan, kos-kosan, perguruan tinggi oleh aparat keamanan, organisasi reaksioner dan warga setempat,” tandasnya.

Dampak Kerusuhan

Diakui memang tak sedikit korban jiwa, luka-luka berat, dan harta benda, dari peristiwa perlawanan rasisme di Wamena yang berakhir rusuh dan berdarah.

ULMWP mencatat jumlah korban jiwa ada 40 orang warga sipil yang terdiri dari 15 orang Papua dan 25 orang non Papua. Korban luka/penembakan dan penikaman 82 orang: 44 orang Papua dan 38 orang non Papua.

Sedangkan, pembakaran ruko-ruko: 351 unit. Pembakaran rumah: 27 unit. Pasar: 1 unit. Kendaraan roda dua 150 unit dan 100 unit roda empat. Serta, 10 gedung perkantoran.

Sejumlah bangunan Ruko dibakar massa aksi yang berakhir rusuh di Wamena, kabupaten Jayawijaya, Senin (23/9/2019). Aksi juga merenggut nyawa warga setempat. (IST – SP)

Selain itu, pengungsian saat kejadian sebanyak 6.584 orang. Pengungsian yang mendaftarkan diri untuk keluar Wamena dan lainnya pulang ke asal kurang lebih 15.000 orang.

Faktor Pemicu

Dari data yang dirilis ULMWP, awal kejadiannya di SMU PGRI Wamena, kabupaten Jayawijaya, Sabtu (21/9/2019) sekira jam 10 siang, saat RTP, S.Pd (Sarjana Pendidikan) dengan status guru honorer mengajar 31 siswa kelas XI IPS 2 (Ilmu Pendidikan Sosial).

Di sekolah yang dikepalai Drs. Herry Max Kasiha, ibu guru RTP masuk mengajar pada jam kedua mata pelajaran Ekonomi. RTP menulis beberapa paragraf di papan tulis dan menyuruh salah satu siswa berinisial AP membaca tulisannya. AP membacanya agak lambat atau putus-putus. Lalu, ibu guru menegur siswa, “Kamu baca seperti monyet.”

Baca Juga:  PAHAM Papua Desak Komnas HAM dan Pangdam XVII Investigasi Video Penganiayaan Warga Sipil Papua

Ucapan itu konon didengar semua siswa yang ada di ruang kelas XI IPS 2. Mendengar itu, secara spontan AP protes sama ibu guru. Protesnya disambut teman sekelasnya. Situasi makin ramai dan tak bisa terkendali, sehingga tak melanjutkan pelajaran. Soal dilimpahkan ke bagian kesiswaan agar diselesaikan secara baik.

Masalah ini diklarifikasi bagian kesiswaan, Debora Agapa, S.Pd. Saat mediasi, pertama ditanyakan ke RTP. Ibu guru RTP bilang, “Saya tidak katakan kepada siswa, ‘kamu baca seperti Monyet’, tapi saya bilang “kamu baca tersendat-sendat” Itu saja.”

Untuk memastikan kebenaran, Debora tanya ke para siswa dari kelas XI IPS 2. Mereka serentak menjawab, “ibu guru tadi sampaikan, “kamu baca seperti monyet” dan kami semua dengar.”

Karena tak puas, ibu guru Debora memanggil 2 siswa non Papua masuk ruangan khusus. Kepada dua siswa itu ditanyakan, “apa yang kamu dengar dari ibu RTP?” Keduanya saling memandang dan ragu-ragu sambil menunduk dan tak menjawab.

Dianggap hal sepele dan perkara hanya di dalam sekolah, selanjutnya diarahkan agar saling maaf antara guru dan siswa sekalipun tak tuntas lantaran saling bertahan pendapat antar RTP dan para siswa.

Aktivitas belajar mengajar tak bisa dilanjutkan karena dalam sekolah, seluruh siswa secara spontan mulai memobilisasi dan para guru sepakat memulangkan siswa-siswi sebelum jam pulang.

RTP mengisi sementara waktu menggantikan Elfrida Panjaitan, S.Pd yang sedang mengikuti sertifikasi di Makassar. Pengangkatan guru honorer ini dilakukan oleh Marden Saragih, S.Pd, guru bagian kurikulum. RTP diperkenalkan di hadapan para guru, Selasa (17/9/2019).

RTP masuk mengajar di kelas dengan bidang studi Ekonomi. RTP mengajar siswa selama lima hari, 17-21 September 2019.

Keesokan harinya, 22 September 2019, sekitar pukul 02.00 WP, orang tak dikenal masuk di lingkungan SMU PGRI Wamena, lalu hancurkan kaca-kaca ruangan. Sekolah ini terdapat 17 ruangan, terdiri dari ruang kelas, ruang guru, ruang tata usaha dan ruang perpustakaan.

Pelaku tak diketahui. Tetapi kejadian ini didengar warga yang tinggal di samping sekolah.

Hari Senin (23/9/2019), seluruh SMU di Wamena sedang adakan ujian tengah semester (UTS). Termasuk di SMU PGRI. Para guru sudah siapkan soal ujian.

Pagi hari, sebelum pukul 07.30 WP, pagar sekolah dipalang oleh siswa dan guru-guru dilarang masuk. Mereka ditahan di luar pintu sekolah dengan tuntutan: tuntaskan kasus rasisme dari RTP kepada AP.

Para siswa menuntut RTP harus dikeluarkan dari sekolah dan diproses hukum. Tetapi, respons pihak sekolah tak memuaskan karena beralasan bahwa tak punya kewenangan.

Saat mediasi dengan siswa sedang berlangsung, situasi kian ramai dan tegang, karena ada dari siswa sekolah lain secara spontan mulai mobilisasi. Pihak sekolah minta bantuan ke Polres Jayawijaya untuk memediasi guru dan siswa. Tetapi tak bisa lantaran situasi tambah tegang. Siswa diarahkan secara ramai-ramai jalan kaki ke Polres untuk selesaikan masalah tersebut.

Siswa dari SMU PGRI sampai di Jalan Bhayangkara untuk menuju ke Kantor Polres, para siswa dari sekolah lain secara spontan mulai mobilisasi teman-temannya. Aparat mulai panik. Tetapi tetap dalam pengawalan. Siswa SMU PGRI tepat berada di perempatan Jalan Bhayangkara dan Jalan Sudirman, situasi tak bisa terkontrol. Banyak siswa sulit terkendalikan.

Untuk meredam situasi, aparat keamanan lepaskan tembakan. Maksud agar semua bisa tenang justru tak berhasil. Sebaliknya, para siswa semakin gencar, tambah semangat dan secara spontan mengucapkan bahwa itu bukan bunyi senjata, tetapi itu bunyi petasan. Tembakan peringatan didilakukan sekira pukul 08.00 WP.

Sejam kemudian, secara spontan para siswa terkonsolidasi. Selain semua SMU dan SMP, juga dari perguruan tinggi. Pada saat bersamaan, terdengar tembakan dari berbagai arah. Para siswa lebih agresif maju dan kuasai mata jalan di beberapa titik dalam Wamena Kota.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil Papua

Bunyi tembakan oleh aparat keamanan dan aksi para siswa ini mengakibatkan orang asli Papua maupun non Papua mulai panik. Bahkan rentetan tembakan didengar di beberapa lokasi mulai dari SMU Negeri, depan Kantor Bupati, depan Kampus II Uniyap (Universitas Yapis) dan Pasar Potikelek.

Sebagian siswa diarahkan Bupati Jayawijaya supaya ke halaman kantor Bupati untuk sampaikan aspirasinya. Dan sebagian palang jalan Hom-Hom tepat di depan Kampus II Uniyap. Karena di sana sudah ada korban penembakan oleh anggota Brimob terhadap abang becak. Mayatnya diletakan di jalan raya Hom-hom, tepatnya jalan masuk kampus II Uniyap.

Karena ada korban di pihak masyarakat Papua (abang becak), massa bukan lagi siswa, tetapi mahasiswa dan masyarakat. Mereka mulai bakar kendaraan, rumah, kios, ruko, bahkan lakukan perlawanan dan berjatuhan korban pembunuhan. Dari Hom-hom ke pertigaan pasar Jibama, yang lain lewat jalan Papua tembus Jalan Wenas sampai di kantor kampung (desa) Kama.

Para siswa yang sudah kumpul di kantor Bupati, semuanya tertib dan duduk di halaman, lalu sampaikan aspirasi. Mereka menuntut kepada Bupati agar segera menghukum ibu RTP.

Sekira Pukul 11.00 WP, usai mendengar tuntutan siswa, Bupati Jhon R. Banua arahkan siswa diantar pulang melalui jalan ke arah Wouma. Ini karena mata jalan masuk dan keluar arah kantor bupati sudah ditutup oleh aparat keamanan dan massa.

Dalam kepanikan sebagian siswa sudah sampai di depan Gereja Katolik Kristus Jaya, yang lain masih di kantor Bupati. Di depan Gereja Katolik, aparat Brimob tahan siswa, kemudian mereka disuruh tiarap, dengan melepas tembakan peringatan.

Di kantor bupati Jayawijaya, Bupati, Wakil Bupati dan Dandim sementara berdiri di halaman kantor Bupati, asap besar mulai mengepul di bagian belakang kantor Keuangan. Dalam hitungan menit, seluruh bangunan komplek kantor Bupati terbakar.

Massa dari arah Wouma marah melihat siswa SMU yang sementara tiarap. Mereka lalu secara spontan bakar kios di sebelah jembatan Wouma sampai masuk di pasar.

Salah satu pelajar SMP, korban luka-luka akibat kena peluru aparat di Wamena, Senin 23 September 2019. (IST – SP)

Pada sore hingga malam terjadi pembakaran dan penyerangan di daerah pasar baru ke arah Pikhe sekitarnya. Korban pun berjatuhan akibat timah panas aparat dan oleh warga dengan pisau dan parang. Situasi tak bisa dikendalikan sampai korban berjatuhan di beberapa lokasi.

“Menyikapi situasi demikian, pihak aparat dan penguasa memproduksi hoaks, ucapan Monyet dirubah menjadi kata tersendat-sendat, dan terakhir keluar di publik adalah “kata bicara kurang keras menjadi kera”. Itu fakta,” bebernya.

Reaksi Non OAP dan Aparat

ULMWP mencatat beberapa reaksi dari warga non Papua di Wamena, juga aparat keamanan.

Pada pukul 12.00 WP, warga non Papua mulai mobilisasi kelompok nusantara/paguyuban. TNI/Polri diduga turut bermain di belakang kelompok non Papua tadi.

Senjata tajam seperti badik, parang dikikis di aspal sambil berteriak: “Mana dorang? Kamu orang Wamena keluar sudah. Woi, kamu dimana? Kamu keluar sudah.”

“Ada salah satu Kepala Dinas yang juga orang Wamena, dikejar saat dia keluar dari kantor untuk melihat situasi sekitarnya. Beberapa warga non Papua mengejarnya hingga di rumah,” tulis ULMWP dalam rilisnya.

“Sesuai pengakuannya, “Saya hampir dipotong dan dibunuh oleh orang pendatang. Untung baik saya lari masuk rumah dan langsung mengunci pintu. Tetapi kalau saya terlambat, maka saya sudah korban.” Kami merekam pengakuan dia,” bebernya lagi.

Di saat bersamaan, aparat melakukan penembakan beruntun ke arah para siswa dan masyarakat Papua. Akibatnya, banyak terkena tembakan dan korban berjatuhan.

“Menyadari reaksi, warga non Papua dan pasukan Polri dan TNI yang mulai menyerang orang Papua di Wamena, yang sebagian besar adalah para siswa SMU dan SMP, sehingga secara spontan sebagai bentuk self-defence, melakukan pembalasan terhadap warga non Papua,” ungkapnya.

Pewarta: Markus You

Artikel sebelumnyaGedung PAUD, TK dan SD Yegeka di Paniai Dilahap Api
Artikel berikutnyaPelantikan Presiden Indonesia dan Harga Tawar Dialog Jakarta – Papua