LIPI Berupaya Menggeser Peran JDP (Bagian 3/4)

0
1501
Logo LIPI
adv
loading...

Oleh: Mecky Mulait, Pr)* 

Tulisan ini adalah serial tulisan berjudulu Kontribus JDP dan Penyelesaian konflik Papua – Jakarta. Bagian Pertama dapat anda baca di sini: Kontribusi JDP dalam Penyelesaian Konflik Papua-Jakarta (Bagian 1/4)dan bagian ke dua dapat anda baca di sini: Kontribusi JDP dalam Penyelesaian Konflik Papua-Jakarta (bagian 2/4). 

Ketika JDP masih kerja sama dengan LIPI di bawah koordinator Almarhum Dr. Muridan, rekomendasi-rekomendasi yang diberikan LIPI kepada pemerintah pusat masih dapat diterima oleh orang Papua karena dapat mengungkapkan fakta secara jelas dan jujur.

Hasil penelitian LIPI yang diberinya judul “Papua Road Map” masih dapat ditanggapi oleh orang Papua secara positif meskipun dari 4 akar soal yang didentifikasi oleh LIPI sebenarnya bersumber dari satu pokok yakni tuntutan hak penentuan nasib sendiri. Maka saat itu JDP yang bekerja sama dengan LIPI masih mendapat simpatisan luas di tanah Papua. Akan tetapi seturut dengan perkembangan persoalan Papua, posisi JDP semakin digeser sebagai aktor.

Hal ini juga cukup berpengaruh ketika LIPI terkait urusan masalah Papua diambil kendali oleh ibu Dr. Elisabet. Elisabet lebih mendorong LIPI menyelesaikan masalah Papua seturut kehendak pemerintah Indonesia. Itulah sebabnya bisa dimengerti kalau orang Papua menolak dialog Papua-Jakarta karena sudah terjadi pergeseran dari rancangan awal terutama saat  konferensi JDP di Auditorium Uncen, 2011 yang dihadiri ribuan orang Papua. Konferensi itu sendiri dibuka oleh pemerintah pusat yang diwakili oleh Menkpolhukam Djoko Suyanto. Akhir dari konferensi itu memilih tim juru runding Persoalan Papua-Jakarta yang semuanya kini menjadi pengurus ULMWP wadah persatuan kelompok perlawanan orang Papua.

ads
Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Pada konferensi itu, JDP juga menekankan mekanisme penyelesaian masalah Papua melalui pihak ketiga dan di tempat yang netral. Dengan demikian netralitas antara dua pihak yang bertikai masih terjaga. Akan tetapi, posisi itu kemudian terus mengalami perkembangan perubahan. Pemilihan 9 aktor yang berkepentingan oleh JDP bagi orang Papua terutama oleh kelompok perlawanan tidak substansial meskipun JDP tetap menyertakan ULMWP sebagai aktor. Karena bagi kelompok perlawanan yang berkonflik itu antara Jakarta dan orang asli Papua.

Kajian LIPI jilid II sebagai pembaharuan kajian pertama “Papua Road Map” 2009 yang memetakan masalah Papua antara orang Papua yang moderat memilih jalan dialog dan kaum muda Papua bekerja sama dengan kelompok diaspora memilih jalan perjuangan penentuan nasib sendiri melalui referenduum.

Kajian LIPI ini mengatakan JDP sebagai salah satu aktor yang saat kajian Road Map I tidak diperhitungkan (lihat. Saruharapan.com). Padahal kelompok orang Papua yang memilih moderat lebih percaya JDP. Sementara kelompok kaum muda Papua bekerja sama dengan diaspora menjadi aktor lain di bawah kepemimpinan Beny Wenda dan Okto Mote dalam wadah ULMWP. Hal ini sangat bertentangan dengan posisi yang ditekankan oleh pater Neles Tebay. Pastor Neles selalu menegaskan bahwa JDP bukan aktor, namun mediator (SuaraPapua, “Pater Neles Tebay: JDP Konsisten sebagai Fasilitator Dialog”).

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Pada tahun 2017 pastor Neles menulis sebuah artikel di media compas dengan jelas mengatakan aktor dialog yang sepadan dengan pemerintah pusat adalah ULMWP. ULMWP itu bukan organ yang hanya dibentuk untuk mengakomodir kaum diaspora Papua tetapi itu persatuan seluruh organ perjuangan Papua baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga orang Papua sudah memiliki ULMWP sebagai aktor dialog dengan pusat.

Tetapi agak mengherankan bahwa metodologi kajian LIPI tampaknya masih menggunakan kaca mata pemerintah. Hal ini terlihat dari cara LIPI menempatkan aktor tadi bahwa seakan LIPI memaksakan dengan memunculkan aktor baru dalam menyelesaikan masalah Papua yakni JDP.

Kalau LIPI mau masalah Papua diselesaikan secara damai mesti meneliti dari persfektif ilmiah artinya menemukan secara jujur apa yang terjadi dalam perkembangan perjuangan orang Papua. Jika LIPI berani berdiri pada obyektifitas data, yang sangat masuk akal adalah bahwa LIPI merekomendasikan pemerintah pusat untuk dialog dengan ULMWP karena orang Papua yang terpencar dalam beragam organ perjuangan baik dalam negeri maupun luar negri sudah bersatu dalam ULMWP. ULMWP tidak dibentuk oleh mereka yang ada di diaspora yang diklaim oleh LIPI justru sebaliknya mereka yang diluar itu adalah para diplomat yang kerja berdasarkan data dari dalam negri.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dalam hal ini, LIPI terjerat pada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama LIPI tidak melakukan penelitian secara serius dan obyektif berdasarkan perkembangn dan kemajuan perjuangan orang Papua dalam menentukan nasib sendiri 8 tahun terakhir. Pada sidang umum PBB 2017 di mana 7 negara Pasifik angkat masalah Papua merupakan hasil kemajuan perjuangan orang Papua. Dalam hal ini metodologi penelitian LIPI menghasilkan “Papua Road Map jilid 2” diragukan. Kedua, kalau secara metodologi LIPI benar, namun dengan sengaja memunculkan JDP sebagai aktor baru, maka jelas bahwa rekomendasi yang diberikan hanya untuk melegitimasi kebijakan pemerintah pusat.

Klaim ULMWP merupakan perwakilan dari diaspora Papua itu merupakan kata yang sering digunakan pemerintah dalam diplomasi menghadapi para diplomat Papua di negara-negara Pasifik. Oleh karena itu Papua Road Map jilid dua sudah banting stir dari Papua Road Map jilid satu yang ojektivitas datanya masih dapat dipercaya oleh dua pihak yang bertikai.

Bersambung…

)* Penulis adalah Imam Diosesan Keuskupan Jayapura

Artikel sebelumnyaPandemi Covid-19 dan Penembakan di Tanah Papua
Artikel berikutnyaTim Covid-19 Kwamki Narama Terima Bantuan