Pemekaran Provinsi dan Kabupaten Baru akan Percepat Marginalisasi dan Pemusnahan OAP

0
1854

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Forum Pemuda Kristen Di Tanah Papua (FPKTP) menolak rencana pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) Provinsi Pegunugan Tengah, Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Barat Daya yang direncanakan akan direalisasikan pada tahun 2022 ini.

Hal ini ditegaskan Sepi Wanimbo, Anggota FPKTP dan Ketua Pemuda Gereja Baptis di Tanah Papua kepada suarapapua.com pada Selasa (18/1/2022) kemarin di Wamena, Papua.

Menurut Sepi, pihaknya menolak rencana Jakarta untuk mekarkan empat provinsi baru dan sejumlah kabupaten baru di Tanah Papua karena mereka menilai hal itu akan mempercepat pemusnahan orang Papua dan marginalisasi terhadap orang Papua.

 “Wacana Jakarta untuk menghadirkan provinsi dan kabupaten baru di Tanah Papua ini  kita tolak. Karena itu akan mepercepat pemusnahan orang asli papua di atas tanahnya sendiri (Papua). Jadi, pemekaran daerah ini diperuntuhkan untuk siapa?,” tegasnya mempertanyakan.

Menurut hemat Sepi, Papua dan Papua Barat sudah cukup dengan dua provinsi yang ada. Sebab, SDM orang Papua saat ini belum cukup mampu untuk jabatan-jabatan penting di beberapa kabupaten dan provinsi yang akan direncanakan direalisasikan pada akhir tahun 2022 ini.

ads

Ia membeberkan, orang Papua bisa hidup tanpa kabupaten dan provinsi. Bahkan dengan dua provinsi dan puluhan kabupaten kota yang sudah tersebar di Papua dan Papua Barat saja sudah cukup.

“Dengan dua provinsi dan puluhan kabupaten kota yang tersebar di tanah ini saja orang asli papua mati banyak. Orang papua terpinggirkan di atas tanah mereka sendiri. Orang-orang non papua dikirim banyak ke sini. Jadi kami melihat rencana Jakarta ini tidak lain dan tidak bukan untuk mengirim penduduk mereka dan menduduki tanah Papua. Untuk orang Papua sudah cukup dengan yang ada,” tegasnya lagi.

Baca Juga:  Masyarakat Tolak Pj Bupati Tambrauw Maju Dalam Pilkada 2024

Dengan dua kabupaten yang ada, sambung Sepi, orang asli papua pemilik ulung Tanah papua menjadi minoritas di Tanah Papua.

Orang asli papua minoritas di atas tanah papua. Orang Papua sedang Mati bayak akibat konflik, orang papua banyak yang mengungsi dimana mana, orang papua banyak mati akibat Miras, Narkoba. Lalu pemekaran untuk siapa? Kami lihat ini jakarta rancang satu wacana untuk menghacurkan orang asli Papua,” tegasnya Sepi.

Sepi mengajak seluruh pemuda Kristen ditanah papua untuk tidak jual tanah, karena orang Papua bisa hidup tanpa pemekaran propinsi dan kabupate, namun tidak bisa hidup tanpa tanah.

“Jangan berikan kesempatan sedikitpun kepada negara untuk membangun DOB se wilayah Lapago. semua pemuda masing masing jaga tanah, jaga dusun. Dan disampaikan kepada orang tua agar tidak serahkan tanah sembarangan kepada pihak negara,” imbuh Sepi.

Sementara itu, Ketua Forum Pemuda Kristen di Tanah Papua, Ev. Yandinus Mabel Megajak kepada seluruh pemuda Kristen di tanah papua untuk bersatu dan memuliakan Tuhan, selamatkan mereka dari ancaman bahaya pemusnahan diatas tanah papua.

“Kita berstu memuliahkan Tuhan dari negeri kita sendiri,” kata Mabel.

Menurut Yandinus Mabel, pihaknya akan bentuk Forum Pemuda Kristen di tanah papua di semua wilayah adat.  

Baca Juga:  Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

“Kita akan deklarasi forum sekalian gelar seminar dan KKR di Lapago bulan Februari besok,” katanya

Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Nioluen Kotouki juga menolak usul pemekaran.

“Dalam posisi ini rakyat Papua akan dimarjinalkan sekalipun di atas tanah sendiri,” tutur dia seperti dikutip media ini dari Tirto.

Menurutnya, salah satu alasan penolakan terkait syarat yang menurutnya tak terpenuhi. Persyaratan pemekaran daerah tercantum dalam Pasal 33-43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan khusus Papua juga diatur dalam UU Otsus.

Dalam dua regulasi itu, “DPRP dan MRP (Majelis Rakyat Papua) berwenang untuk menimbang dan menyetujui,” yang itu “tak dijalankan”.

MRP adalah representasi kultural di Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, demikian tercantum dalam UU Otsus. Nioluen mengatakan alih-alih aspirasi masyarakat, usul pemekaran adalah upaya pusat untuk meredam kemarahan orang Papua karena diperlakukan rasis dan agar mereka tidak menolak otsus diperpanjang.

Cahyo Pamungkas, peneliti dari Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI, mengatakan memang yang paling diuntungkan dari pemekaran adalah elite Papua, bukan warga biasa.

“Jika provinsi baru, mungkin akan mengulang Irian Jaya Barat. Kemungkinannya tidak akan mencapai sasaran karena tidak didukung oleh masyarakat Papua,” jelas Cahyo.  

Pada akhirnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat pun terus muncul dan menurut Cahyo sulit hilang.

Ragam Tanggapan atas Wacana Pemekaran di Papua

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Seperti dikutip dari bbc indonesia, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan aspirasi pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Papua atau pemekaran wilayah akan dipertimbangkan untuk menjadi prioritas pembahasan dalam satu sampai dua tahun ke depan.

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Theo Litaay, mengatakan rencana pemekaran wilayah Papua dilakukan atas masukan dari daerah-daerah, kabupaten, sampai dewan adat setempat. Warga yang diajaknya bicara, ujar dia, mengatakan membutuhkan akses yang lebih mudah terhadap pelayanan pemerintah.

Namun, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan hal itu terlalu tergesa-gesa jika dilakukan tanpa menyelesaikan akar masalah yang ada di Papua.

Adriana Elisabeth, peneliti LIPI, mengatakan situasi konflik yang masih terjadi di Papua akan menyulitkan rencana pemekaran wilayah atau DOB, meski pemerintah sudah membuat Undang-undang Nomor 2 tahun 2021 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua.

“Ada unsur ketergesaan di sini. Yang diperhatikan pemerintah itu hanya pembangunan. Pembangunan itu bukan satu-satunya masalah. Ada masalah lain yang saling berkait, itu yang tidak pernah direspons secara terbuka,” kata Adriana.

Sementara itu, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, meminta pemerintah untuk memperbaiki regulasi sebelum melakukan pemekaran wilayah.

“Atur dulu tentang politik konstitusional orang asli Papua, seperti pembentukan partai lokal dulu, pengelolaan sumber daya alamnya diatur dulu, pendidikannya juga diatur dulu, kesehatan, masalah ekonomi,” kata Timotius.

Pewarta: Onoy Lokobal

Editor: Arnold Belau

 

Artikel sebelumnyaBupati Dogiyai Serahkan 60 Juta untuk Pulangkan Jenazah Yosias Auwe
Artikel berikutnyaDiperiksa 5 Jam, Haris dan Fatia akan Sodorkan Sejumlah Bukti dan Saksi