JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Simpati dan dukungan dari berbagai kalangan buat pejuang masyarakat adat Woro suku Awyu di kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado, Sulawesi Utara, berdatangan. Salah satunya, Laurenzus Kadepa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang menyatakan sangat mendukung upaya tersebut.
Upaya banding melalui kuasa hukumnya, Tim Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, dilakukan beberapa waktu lalu pasca putusan PTUN Jayapura pada 2 November 2023.
Kepada suarapapua.com, Rabu (21/1/2024), Laurenzus Kadepa mengungkapkan alasan mendukung upaya banding suku Awyu bersama kuasa hukumnya ke PTTUN Manado karena dijamin peraturan perundang-undangan untuk mencari keadilan.
Selain itu, kata Kadepa, dengan mengajukan banding tersebut marga Woro suku Awyu bermaksud mempertahankan hutan adatnya agar tidak rusak akibat dirambah investor di bidang kelapa sawit, dalam hal ini PT Indo Asiana Lestari (IAL).
Laurenz menilai wajar bila penggugat yang tahu persis kondisi riil tidak menerima amar putusan PTUN Jayapura.
“Keterangan penggugat bersama sejumlah saksi yang sudah dihadirkan di ruang sidang mengungkapkan banyak fakta di lapangan. Tapi majelis hakim abaikan itu semua hingga memutuskan menolak gugatan marga Woro. Karena itulah ada upaya banding setingkat di atasnya. Upaya banding ini kami sangat mendukung, bila perlu diterima untuk batalkan putusan sebelumnya,” tutur Kadepa.
Anggota Komisi Bidang Pemerintahan, Politik, Hukum, HAM, dan Keamanan DPRP itu menyatakan, demi tujuan mulia masyarakat adat, termasuk perjuangan marga Woro, patut didukung semua pihak agar PTTUN Manado mengabulkan upaya banding tersebut.
“Sebagai wakil rakyat Papua, saya harap agar PTTUN Manado batalkan putusan PTUN Jayapura. Ini demi eksistensi masyarakat adat, Sebab kalau hutan adat rusak, hidup suku Awyu dengan semua komunitas masyarakat adat yang ada akan menghadapi banyak kesulitan. Orang Papua pada umumnya sadar bahwa hutan dan tanah adalah mama yang memberi makan dan minum. Sama halnya dengan marga Woro suku Awyu dan suku-suku lainnya. Itu sudah merupakan hal prinsipil, satu falsafah hidup masyarakat adat di Tanah Papua” ujar Kadepa.
Dikemukakan, penggugat mempertanyakan izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan pemerintah daerah melalui DPMPTSP Papua tanpa sepengetahuan masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat tanah dan hutan.
Dalam amar putusannya, majelis hakim PTUN Jayapura dipimpin Merna Cinthia didampingi hakim anggota Yusup Klemen dan Donny Poja menyatakan gugatan ditolak karena tidak beralasan hukum.
Sebelumnya, Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, yang juga salah satu kuasa hukum, meminta hakim PTTUN Manado membatalkan putusan PTUN Jayapura yang menolak gugatan masyarakat adat suku Awyu.
“Hakim PTTUN Manado harus membatalkan putusan PTUN Jayapura demi melindungi hak atas tanah ulayat suku Awyu,” ujarnya melalui siaran pers nomor 002/SP-LBH-Papua/II/2024, Selasa (20/2/2024).
“Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib memeriksa majelis hakim PTUN Jayapura pemeriksa perkara nomor 6/G/LH/2023/PTUN JPR yang dilakukan tanpa mengikuti Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1 tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup,” ujarnya.
Selain itu, ujar Emanuel, “Majelis hakim PTTUN Manado segera batalkan putusan PTUN Jayapura nomor 6/G/LH/2023/PTUN JPR demi melindungi hak atas tanah ulayat dan hutan adat milik marga Woro.”
Tulis LBH Papua di poin ketiga, “Komisi Yudisial Republik Indonesia segera pantau majelis hakim PTTUN Manado dalam memeriksa perkara putusan PTUN Jayapura nomor 6/G/LH/2023/PTUN JPR menggunakan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1 tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup.”